Empat Jari Tertebas, Semangat Tak Pernah Padam: Kisah Abi Kusno dan Jihad Ekologinya

- Senin, 08 Desember 2025 | 17:00 WIB
Empat Jari Tertebas, Semangat Tak Pernah Padam: Kisah Abi Kusno dan Jihad Ekologinya

Tapi ajal belum datang. Dengan sisa tenaga, ia dilarikan ke rumah sakit. Sadar ancaman masih membayang, rekan-rekan aktivisnya membawanya ke Jerman untuk operasi dan pemulihan berbulan-bulan. Ratusan jahitan menyatukan tubuhnya, meski empat jari itu hilang untuk selamanya.

IV. Senator Berjari Satu

Orang lain mungkin akan pensiun. Bukan Abi Kusno. Justru sembuhnya dari luka itu membakar semangatnya lebih besar. Ia merasa diberi "hidup kedua".

Ia sadar, berteriak dari luar tak cukup. Maka pada 2004, ia maju sebagai calon anggota DPD RI. Rakyat Kalimantan Tengah memilihnya, tergerak oleh pengorbanannya.

Di Senayan, ia jadi senator yang paling "berisik". Ia mendobrak pintu menteri, mendesak penangkapan cukong yang masih bebas. Tangan kirinya yang cacat sering ia angkat tinggi dalam sidang, sebagai bukti nyata betapa bobroknya penegakan hukum.

V. Teror Kain Kafan

Tahun 2006, perjuangannya makin keras. Ia gencar sidak ke kantong-kantong kayu ilegal.

Beberapa hari sebelum akhir hayatnya, saat kunjungan kerja ke Muara Bulan, rombongannya dihadang massa. Sebuah paket disodorkan padanya. Isinya selembar kain kafan. Pesannya jelas: "Berhenti atau mati."

Abi menerimanya dengan tenang. Ia tak mundur. Ia tahu risikonya.

VI. Kilometer Terakhir di Cirebon

Tak lama setelah ancaman itu, nasib berkata lain. Pagi buta, 24 Juli 2006, di Jalan Tol Palimanan-Kanci, Cirebon, mobil yang ditumpanginya menabrak belakang sebuah truk. Benturan keras terjadi di sisi kiri depan, tepat tempat Abi duduk.

Ia menghembuskan napas terakhir di aspal jalan tol, jauh dari hutan yang ia bela. Polisi menyebutnya kecelakaan murni. Tapi bagi keluarga dan kawan-kawannya, kematian ini meninggalkan tanda tanya besar. Waktunya yang terlalu berdekatan dengan ancaman membuat dugaan sabotase sulit dihapus dari pikiran.

VII. Warisan yang Tak Tertebas

Abi Kusno Nachran wafat, tapi kisahnya tetap hidup. Ia meninggalkan warisan berharga: kesadaran bahwa menjaga alam di negeri ini butuh nyali untuk bertaruh nyawa. Namanya harum di kalangan aktivis global.

Hari ini, jika melihat pohon ramin yang masih tegak di Tanjung Puting, atau orangutan yang masih bergelantungan, ingatlah. Ada darah Abi Kusno yang pernah tumpah untuk semua itu. Ia bukti, satu orang dengan nurani bersih bisa lebih kuat dari sepasukan preman bersenjata tajam.


Halaman:

Komentar