Bayangkan hutan Kalimantan yang lebat, dengan pepohonan purba menjulang tinggi. Di tengahnya, seorang pria paruh baya memilih untuk berdiri tegak. Namanya Abi Kusno Nachran. Bukan pahlawan super, hanya manusia biasa yang nekat melawan arus keserakahan demi menebus masa lalunya sendiri.
Ini cerita tentang pertobatan. Tentang nyawa yang dipertaruhkan untuk sesuap udara bersih.
I. Panggilan dari Tanah Haram
Abi Kusno lahir di Pangkalan Bun, 1941. Ia tumbuh di tepi hutan yang kian menyusut. Masa mudanya dihabiskan dengan memahami dunia bisnis Kalimantan, termasuk yang gelap dunia perkayuan. Ia tahu betul seluk-beluknya.
Namun begitu, segalanya berubah usai ia menunaikan ibadah Haji. Di depan Ka'bah, hatinya tersentak. Ia pulang membawa keyakinan baru: merusak alam ciptaan Tuhan adalah dosa besar, sebuah pengkhianatan.
Melihat Taman Nasional Tanjung Puting rumah orangutan, paru-paru dunia dijarah habis-habisan oleh para cukong kayu, darahnya mendidih. Ia merasa ikut bersalah jika diam saja. Maka, diwakafkannya sisa hidup untuk apa yang ia sebut "Jihad Ekologis". Ia bertekad melawan mafia yang saat itu seolah kebal hukum.
II. Melawan Raja Kayu
Awal 2000-an, Kalimantan bagai "wild west". Hukum rimba berlaku. Abi memilih pena dan kamera sebagai senjatanya. Ia jadi jurnalis investigasi untuk tabloid Lintas Khatulistiwa.
Ia tak cuma duduk di belakang meja. Abi menyusup ke hutan, menyisir sungai, memotret tongkang-tongkang penuh kayu ramin curian. Laporannya tajam, menyebut nama, menunjuk hidung para "Raja Kayu" yang punya koneksi hingga ke ibu kota.
Berkat data yang ia suplai ke LSM internasional seperti EIA dan aparat, beberapa kapal berhasil disita. Itu pukulan telak. Dan Abi pun naik daftar sebagai target utama para mafia.
III. Mandau yang Menari
Rabu, 28 November 2001. Langit Pangkalan Bun kelabu.
Di kota, Abi tiba-tiba dikepung sekelompok preman bayaran. Tanpa ampun, parang dan mandau diayunkan. Serangan itu bertujuan membunuh. Sebuah tebasan mengarah ke kepalanya. Refleks, Abi menangkis dengan tangan kosong.
Darah muncrat. Empat jari tangan kirinya putus, terlempar ke tanah.
Rasa sakit belum sampai, punggungnya sudah ditebas berkali-kali hingga menganga. Tujuh belas luka bacokan. Pelaku meninggalkannya terkapar, yakin nyawanya sudah melayang.
Artikel Terkait
Banjir Setinggi Pinggang, Warga Pontianak Malah Asyik Makan di Warung
Warga Terkepung, Akses Terputus: Lahar Dingin Semeru Timbun Permukiman di Lumajang
Kepling Medan Dicopot Usai Diduga Menyelewengkan Bantuan Banjir
Korban Wedding Organizer Beraksi, 88 Pasangan Tertipu di Momen Bahagia