Insentif Otomotif: Mencari Keseimbangan Baru
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sedang menyiapkan sebuah usulan yang cukup menarik perhatian. Ia merancang insentif baru untuk industri otomotif, dengan harapan bisa memberikan efek berganda yang besar bagi perekonomian nasional. Rencananya, pemerintah akan melanjutkan dan memperkuat pemberian insentif khusus bagi mobil hybrid yang diproduksi secara lokal dengan tingkat komponen dalam negeri yang tinggi. Langkah ini dianggap penting untuk mendukung pengembangan industri otomotif ramah lingkungan di dalam negeri.
Namun begitu, kondisi saat ini menunjukkan ketimpangan yang cukup mencolok. Mobil hybrid atau HEV hanya mendapatkan insentif diskon pajak penjualan barang mewah sebesar 3 persen yang akan berakhir pada akhir tahun. Bandingkan dengan mobil listrik murni atau BEV yang mendapat insentif jauh lebih menggiurkan: PPN Ditanggung Pemerintah 10 persen plus bebas PPnBM untuk produksi lokal.
Belum lagi, BEV juga dibebaskan dari pajak daerah seperti PKB dan BBNKB. Alhasil, BEV rakitan lokal yang memenuhi syarat TKDN hanya membayar pajak 2 persen. Sementara HEV masih harus membayar semua pajak dengan tarif normal. Bahkan BEV impor pun dapat keringanan bea masuk 50 persen. Struktur pajak yang timpang inilah yang kini menjadi sorotan.
Menurut Riyanto, peneliti senior LPEM FEB UI, kebijakan untuk kendaraan hybrid masih belum cukup adil dibanding kendaraan listrik murni.
"Segmen ini perlu diberikan kebijakan yang lebih fair dengan basis reduksi emisi dan TKDN. Insentif untuk HEV saat ini belum fair," tegas Riyanto dalam keterangannya, Senin (24/11).
Di sisi lain, dorongan untuk insentif kendaraan hybrid semakin relevan mengingat semakin banyak produsen yang telah memproduksi model hybrid di dalam negeri. Honda merakit HR-V e:HEV di Karawang, Wuling memproduksi Almaz Hybrid di Bekasi. Yang terbaru, New Toyota Veloz HEV diproduksi di Karawang dengan TKDN mencapai 80 persen lebih.
Kehadiran model-model hybrid produksi lokal ini ternyata telah menyerap ribuan tenaga kerja, mulai dari lini produksi, rantai pasok komponen, hingga sektor logistik dan penjualan. Aktivitas produksi hybrid yang terus meningkat ini berkontribusi langsung pada perputaran ekonomi nasional. Rantai pasoknya pun lebih panjang dibanding kendaraan impor utuh.
Riyanto memperkirakan prospek kendaraan hybrid pada 2026 akan lebih baik dibanding tahun ini, terutama setelah insentif untuk BEV impor utuh berakhir.
"Yang jelas tahun depan HEV akan lebih baik dari tahun ini, karena tahun ini BEV CBU yang penjualannya menggerus pasar BEV CKD dan juga HEV. Estimasi saya kalau HEV bisa 5 persen market share-nya. Beberapa pemain yang tadinya hanya menjual BEV akan menawarkan HEV, jadi akan banyak variasi model dari yang kecil sampai yang besar," jelasnya.
Menariknya, kendaraan listrik murni dan hybrid diprediksi akan memiliki segmentasi pasar yang berbeda. Pasar daerah cenderung lebih menerima kendaraan hybrid karena belum seluruh wilayah memiliki kesiapan infrastruktur pengisian daya listrik.
Artikel Terkait
Tanrise Property (RISE) Siap Bagikan Bonus Saham Rp525 Miliar
Target Rp 141 Triliun Freeport di 2025, Produksi Emas Anjlok 50%
Produksi Beras 2025 Diprediksi Lampaui Target, Capai 34,77 Juta Ton
Hans Patuwo Siap Gantikan Patrick Walujo di Pucuk Pimpinan GOTO