Lalu, ada masalah moral hazard dalam pengelolaan hutan.
Begitu keputusan administratif harus melewati persetujuan politik, penegakan hukum langsung kehilangan taringnya. Eksploitasi hutan jadi makin rentan intervensi. Oligarki punya ruang lebih leluasa untuk mendesak. Akibatnya, kerusakan ekologi bukan lagi soal hitam putih, tapi jadi bahan tawar-menawar. Sumber daya alam berubah wujud jadi komoditas politik, bukan amanah untuk dijaga.
Padahal, alam sudah bicara lebih keras.
Lihat saja Aceh, Sumatera Utara, atau Sumatera Barat. Daerah-daerah itu tak pernah menunggu restu siapa-siapa untuk dilanda banjir dan longsor. Mereka hanya menunggu kapan negara ini betul-betul serius mengurus hutannya. Sayangnya, negara masih sibuk menunggu restu.
Faktanya, hutan sudah gundul. Rakyat di hilir sudah menderita. Tapi seorang menteri masih harus mengetuk pintu Presiden dan bertanya, "Pak, boleh saya kerjakan tugas saya?"
Inilah ironi terbesar dalam pengelolaan lingkungan kita. Yang punya kuasa tak berani bertindak. Yang punya kewenangan tak mandiri. Dan satu-satunya yang bersuara lantang, justru bencana itu sendiri.
(")
Artikel Terkait
Solidaritas Global untuk Sumatera: Bantuan Diplomat Dunia Tiba di Halim
Dari Cibubur ke Senopati: Kisah Arul dan Pintu Harapan Bernama Magang Nasional
Gus Faris Buka Suara: Konflik di Tubuh PBNU Bukan Soal Yahudi, Tapi Perebutan Tambang
Jalan Tol Kapalbetung Dinyatakan Layak untuk Arus Mudik Nataru