Di usianya yang ke-95, Sulaiman Al Rajhi memilih jalan yang jarang ditempuh. Ikon perbankan Saudi ini dengan sadar melepas status miliardernya. Bukan karena bangkrut, tapi karena hati. Ia mendonasikan harta yang luar biasa besarnya: $16 miliar atau setara Rp 267 triliun. Langkah ini menempatkannya sebagai salah satu donatur individu terbesar yang pernah ada.
Tak tanggung-tanggung, yang diserahkan mencakup saham di Al Rajhi Bank, portofolio real estat, berbagai bisnis, dan aset pertanian. Semuanya dialihkan ke dalam sistem wakaf. Dana itu nantinya akan mendukung pendidikan, layanan kesehatan, ketahanan pangan, dan tentu saja, kegiatan keagamaan.
"Semua yang kuberikan, lillahi ta'ala," ujarnya singkat. Kalimat itu saja sudah cukup menggambarkan ketulusannya.
Siapa sebenarnya pria kelahiran 30 November 1928 ini? Sulaiman Al Rajhi adalah seorang pengusaha, bankir, dan filantropis legendaris. Namanya melekat erat dengan Bank Al Rajhi, salah satu bank syariah terbesar di dunia. Namun kini, di usia senjanya, ia lebih fokus mengawasi langsung Yayasan Sulaiman bin Abdul Aziz Al Rajhi, lembaga yang menyalurkan amalnya.
Jalan hidupnya tidaklah mudah. Berasal dari keluarga yang serba kekurangan, sejak usia sembilan tahun ia sudah harus bekerja keras. Mulai dari jadi kuli angkut di pasar, memanen kurma, sampai bekerja sebagai juru masak. Pengalaman pahit itulah yang membentuk karakternya.
Dari titik terendah itulah ia membangun bisnis. Awalnya merintis usaha impor minyak tanah, lalu beralih ke penukaran mata uang. Usaha penukaran uangnya ternyata berkembang pesat. Hingga akhirnya, di tahun 1980, bersama saudara-saudaranya, ia mendirikan Al Rajhi Exchange and Trading Company. Inilah cikal bakal yang kemudian bertransformasi menjadi Bank Al Rajhi.
Artikel Terkait
Serangan Israel di Khan Younis Tewaskan Bayi dan Picu Peringatan Qatar
UINSA Gelar Konferensi Internasional, Usung Islam Indonesia sebagai Solusi Krisis Global
Warga Ketapang Geger, WNA China Tertangkap Basah di Lokasi Tambang Emas Ilegal
Kobaran Api Guncang Paviliun Negosiasi Iklim COP30 di Brasil