Di sisi lain, ada faktor lain yang bermain. Kinerja pasar saham sendiri dipercaya akan memengaruhi pola belanja kelompok berpendapatan tinggi. Kelompok ini kan paparannya terhadap saham biasanya lebih besar.
Doug Beath, seorang Global Equity Strategist di Wells Fargo Investment Institute, mengungkapkan kekhawatirannya.
"Jika terjadi penurunan, mengingat banyak kekayaan kelompok berpendapatan tinggi tersimpan di pasar saham, maka ini jadi menarik untuk dilihat. Apakah pola belanja mereka akan tetap sama seperti sebelumnya?" tanyanya.
Lalu, bagaimana proyksinya? National Retail Federation memproyeksikan penjualan ritel akhir tahun di Amerika bisa menembus angka fantastis: USD 1 triliun untuk pertama kalinya. Namun begitu, ada catatan. Proyeksi pertumbuhan untuk periode November-Desember hanya berada di kisaran 3,7% hingga 4,2%. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 4,3%.
Selain menunggu euforia belanja, investor pekan depan juga bakal menanti rilis data penjualan ritel AS untuk bulan September. Data ini sempat tertunda akibat penutupan pemerintah yang berlangsung selama 43 hari. Menurut sejumlah analis, deretan data yang menumpuk ini berpotensi menambah volatilitas pasar. Semua ini pada akhirnya akan digunakan untuk membaca peluang pemangkasan suku bunga The Fed, yang rencananya menggelar pertemuan pada 9-10 Desember mendatang.
Jadi, semua mata tertuju pada konsumen. Mereka lah yang akan menentukan arah pasar di sisa tahun 2025 ini.
Artikel Terkait
Pintu BEI Dibuka Lebar, Pemerintah Siapkan Demutualisasi
Astra Tanamkan Kesadaran Lingkungan Lewat Workshop Kolaboratif di Padalarang
Qpon Luncurkan Fitur Explore, Pacu Eksposur Merchant Lewat 100 Juta Impresi Harian
OJK Desak Bank Turunkan Bunga Kredit, Transparansi ke Nasabah Diperkuat