Di sisi lain, semua terlihat baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi dikabarkan 5,12 persen. Angka kemiskinan turun ke 8 persen. Indeks saham melonjak ke level 8 ribu. Semua serba angka 8, angka kesukaan sang pemimpin. Kebetulan yang sangat menarik.
Artinya apa? Semua data bisa diolah. Semua bisa dibengkokkan demi menyenangkan atasan. Ini puncak dari patrimonialisme. Penguasa memperlakukan negara seperti milik pribadi, memerintah berdasarkan loyalitas, mengaburkan batas privat dan publik. Meritokrasi pun dikorbankan. Yang utama adalah kedekatan dan kesetiaan buta.
Hasilnya? Inkompetensi merajalela. Kita bisa menyaksikannya di mana-mana: penanganan bencana yang lamban, program makan siang gratis, koperasi desa, sampai pembangunan militer. Kacau balau.
Tapi pemerintah bersikeras semuanya baik. Statistik memuaskan diumbar. Survei yang bagus ditonjolkan. Sementara data buruk dikubur dalam-dalam. Beberapa lembaga survei memilih diam, tidak menerbitkan temuan sama sekali.
Para pejabat pun asal bunyi. "Kami terbangkan 50 helikopter ke lokasi bencana secara senyap," kata seorang pejabat. Memang senyap, karena tak ada yang melihatnya. "Ribuan kompor gas akan dikirim ke Aceh," janji lainnya. Tapi dari mana gasnya? Itu yang tak pernah jelas.
Suara kritis dibungkam. Aktivis yang menuntut pertanggungjawaban diintimidasi. Seorang influencer dapat mobilnya dicoret-coret. Aktivis lingkungan dikirimi bangkai ayam. Ini membuat kita bertanya, mengapa rezim ini begitu terobsesi dengan bangkai? Dari kepala babi sampai ayam mati. Apa memang sebusuk itu?
Inkompetensi akan berujung pada kegagalan. Dan itulah yang paling menakutkan. Bila rezim ini gagal, ia akan berubah brutal. Polanya selalu sama: mulai dari pengingkaran, lalu intimidasi, akhirnya kekerasan terbuka. Seperti yang terjadi di akhir era Soeharto dulu. Kita semua tahu siapa biasanya yang jadi eksekutor orang-orang yang kini justru menduduki posisi mulia di negara ini.
Semua ini berawal dari nepotisme. Dari mengutamakan loyalis yang inkompeten, lalu memberi mereka kekuasaan besar. Jenderal pun paham, sang Letkol jauh lebih berkuasa. Makanya dia harus tunduk dalam-dalam.
Gambar: Ilustrasi dari internet.
Artikel Terkait
Mantan CEO Bagikan Rp4 Triliun Bonus ke Karyawan Setelah Akuisisi
Kapolri Minta Polisi Tak Lagi Lamban: Jangan Sampai No Viral No Justice Terus Terjadi
Demokrasi di Ujung Tanduk: Elite Sibuk Berhitung, Rakyat Hanya Jadi Penonton
Tas Misterius Bergambar Bendera Sempat Picu Kepanikan di Tol Banyumanik