Menggugat Narasi Pembisuan: Mengapa Muslim Tak Boleh Diam Saat Penguasa Zalim Berkuasa?

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 11:20 WIB
Menggugat Narasi Pembisuan: Mengapa Muslim Tak Boleh Diam Saat Penguasa Zalim Berkuasa?

Muslim Pantang Jadi Setan Bisu

Oleh: Arsyad Syahrial

Narasi opini yang lagi-lagi dilontarkan si Pudel ini, menurut saya, sesat dan menyesatkan. Ada kerancuan fatal di sana, yang sengaja mengaburkan batas antara mengkritik kebijakan publik dengan mencela pribadi seseorang. Ini jelas talbīs, upaya membungkam amar ma'ruf nahyi munkar dengan tameng "akhlak" yang dipahami secara keliru.

Mari kita bedah pelan-pelan.

🔴 Premis Palsu dan Kecacatan Logika

Si Pudel seolah membangun sebuah premis: bahwa siapa pun yang berani mengkritik penguasa, pastilah punya hobi menjatuhkan kehormatan. Ini namanya strawman fallacy, kecacatan logika yang parah.

Padahal, bedanya jelas sekali. Menghina fisik atau pribadi itu dilarang. Tapi mengoreksi kezaliman atau kebijakan yang melenceng? Itu justru kewajiban. Mengkritik kebijakan penguasa yang menyengsarakan rakyat atau bertentangan dengan syariat bukan soal "hobi", melainkan bentuk kepedulian nyata terhadap agama dan nasib sesama Muslim.

Analoginya sederhana. Bayangkan ada sopir bus yang ugal-ugalan, membahayakan nyawa penumpang. Apakah penumpang yang berteriak memperingatkan si sopir layak dicap "hobi menghina"? Sementara penumpang yang diam saja, membiarkan bahaya terjadi, dianggap penumpang yang baik? Tentu tidak.

🔴 Dalil: Larangan Jadi "Setan Bisu"

Islam tak pernah mengajarkan umatnya untuk diam seribu bahasa melihat kemungkaran, sekalipun yang melakukannya adalah penguasa. Amar ma'ruf nahyi munkar itu perintah langsung dari Allah ﷻ.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110).

Rasulullah ﷺ juga bersabda dengan sangat tegas:

Intinya, jika tak mampu mengubah dengan tangan, gunakan lisan. Kritik lisan terhadap penguasa yang salah itu perintah syariat, bukan ghibah apalagi penghinaan.

Bahkan, Nabi ﷺ menyebut kritik kepada penguasa zalim sebagai jihad yang utama. Sampai-sampai, orang yang berani menegur penguasa di hadapannya lalu dibunuh karenanya, digelari pemimpin para syuhada. (HR al-Hakim, Ibnu Hibban – dinilai hasan oleh Al-Albani).

Lihatlah teladan para pendahulu kita. Mereka tidak "baper" saat dikritik.


Halaman:

Komentar