Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu diangkat menjadi khalifah, pidato pertamanya sangat gamblang:
"Ammā ba’du, wahai manusia. Aku kini memimpin kalian, padahal aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku!"
Kata yang beliau pakai, "qowwimunī" (luruskanlah aku), itu perintah. Bukan sekadar izin.
Atau kisah Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu. Saat beliau membatasi mahar dan dikritik seorang perempuan dengan dalil Al-Qur'an, reaksinya bukan marah atau menangkapnya. Justru beliau berkata,
"Perempuan ini yang benar, dan Umar yang salah."
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pun punya sikap serupa. Saat diminta diam atau berpura-pura setuju dengan penguasa zalim demi "menjaga kehormatan", beliau balik bertanya:
"Kalau seorang ulama saja menjawab dengan taqiyyah (karena takut), sementara orang bodoh tetap dalam kebodohannya, lalu kapan kebenaran akan tampak?"
🔴 Lalu, Kapan Kita Harus Berubah?
Mungkin ada yang bertanya, "Ngomong-ngomong, kapan berubah? Apa nunggu kematian datang?"
Jawabannya tegas. Kami, kaum Muslimin, menolak menjadi setan bisu. Justru karena takut kematian datang saat kami diam membiarkan kemungkaran. Kami takut menghadap Allah dalam keadaan membiarkan agama-Nya dipermainkan dan umat dizalimi, hanya demi "menjaga perasaan" penguasa.
Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan,
"…dan katakanlah kebenaran, meskipun itu pahit…" (HR Ahmad).
Kepahitan mengatakan kebenaran itu, kata Nabi ﷺ, takkan mendekatkan ajal atau menjauhkan rezeki. (HR Ahmad, Ibnu Katsir).
Nah, begitu. Semoga bisa dipahami dengan jelas.
Artikel Terkait
Bahlil Tegaskan ke Senior Golkar: Jangan Terus Merasa Masih Ketua Umum
Tersangka Klaim Ijazah Jokowi yang Ditunjukkan Polisi Palsu
JK Soroti Tumpukan Kayu di Sungai sebagai Biang Kerusakan Banjir Padang
Rustam Effendi Klaim Ijazah Jokowi Palsu Usai Intip Dokumen di Polda