“Walaupun ada air, dia tidak langsung ke permukaan. Dia jatuh di tajuk, pecah, kemudian sebagian mengalir melalui batang,” jelasnya pada suatu kesempatan di Bogor, awal Desember 2025.
Ia menekankan, tumbuhan bawah dan serasah punya peran vital menyerap air dan menjaga kestabilan tanah. “Tuhan menciptakan ini tentu saja untuk kebaikan manusia dan lingkungannya,” katanya.
Masalahnya dimulai ketika pembalakan liar masuk. Tajuk hutan yang terbuka membuat air hujan menghujam langsung ke tanah. Erosi pun tak terelakkan. “Pada kondisi seperti ini, ketika pembalakan masif kaum Kleptokrasi masuk, maka celah di ekosistem semakin terbuka,” tegas Prof Bambang.
Di sisi lain, pakar lain dari IPB, Basuki Sumawinata, memberi penjelasan berbeda. Ia menekankan faktor cuaca ekstrem. Sebuah siklon tropis membawa hujan dengan intensitas gila-gilaan: 400 mm dalam hanya 1-3 hari. Padahal, rata-rata curah hujan bulanan cuma 150-200 mm.
“Curah hujan sebulan biasanya 150–200 mm. Ketika 400 mm turun hanya dalam beberapa hari, tanah tidak mungkin mampu meresapkan air,” ujar Basuki.
Ia menggambarkan, hujan sebanyak itu setara dengan 4.000 meter kubik air per hektare. Dengan cakupan awan dari Aceh sampai Sumatra Barat, banjir adalah keniscayaan. “Tidak ada sistem lahan yang mampu menangani volume sebesar itu,” tegasnya. Bahkan hutan primer sekalipun akan kewalahan.
Namun, masyarakat sudah tak sabar menunggu analisis. Ribuan orang warga, mahasiswa, tokoh adat turun ke jalan di depan Kantor Gubernur Sumatra Utara pada November 2025. Mereka menuntut penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dituding merusak lingkungan dan merampas tanah ulayat. Spanduk bertuliskan “Selamatkan Tanah Batak, Tutup TPL” berkibar di mana-mana.
Gubernur Bobby Nasution pun diingatkan. Sebelum bencana terjadi, eks Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dan Wamen PU Diana Kusumastuti sudah mengingatkannya soal ancaman banjir bandang. Peringatan itu ternyata bukan hanya untuk Sumatra.
Dwikorita, yang kini menjadi Guru Besar, memperingatkan bahwa bencana serupa bisa terulang di Jawa, Sulawesi, atau Papua. Kontur Bukit Barisan tak jauh berbeda dengan bentang alam di pulau-pulau tersebut. Desember 2025 hingga April 2026 adalah periode rawan siklon.
“Harus sudah siaga ini… Jadi, harus ada kesiapsiagaan untuk wilayah lainnya, tinggal menunggu pemicunya,” katanya dalam sebuah diskusi di UGM.
Ia juga menyelipkan kecurigaan tentang faktor antropogenik campur tangan manusia. Faktor ini, meski tidak diakui sebagai satu-satunya penyebab, diduga memperpendek siklus bencana. “Karena sesiap apapun kita, kalau ekologinya enggak benar, kita selalu kalah,” tandas Dwikorita.
Peneliti UGM Hatma Suryatmojo punya analisis senada. Perubahan penggunaan lahan di hulu, termasuk pembukaan kebun dan tambang, serta migrasi penduduk ke dataran tinggi, memperparah kerentanan.
Pada akhirnya, semua bermuara pada satu titik. Istilah “Antroposen” era di mana manusia menjadi kekuatan geologis utama bukan lagi wacana akademis semata. Di Sumatra, ia adalah kenyataan sehari-hari yang pahit. Sebuah era yang diwarnai perselingkuhan antara pemodal dan kaum kleptokrasi untuk menaklukkan alam.
Harapan terakhir mungkin terletak pada komitmen baru. Target nol-deforestasi di 2030 masih mungkin dicapai, jika hak masyarakat adat diakui dan praktik berkelanjutan diterapkan secara masif. Alam dan manusia butuh keseimbangan. Dan langkah menuju keseimbangan itu hanya bisa dibangun di atas kebijakan yang egaliter, bukan yang kleptokratis. Saatnya untuk perubahan.
Artikel Terkait
Banjir Sumatera 2025: Saat Hutan Dibabat, Rakyat Dibayangi Air Bah
Presiden Israel Serang Walikota Terpilih New York: Anti-Yahudi dan Anti-Amerika
Prabowo Sambangi Kremlin, Undang Putin ke Indonesia dengan Gurauan
Gagasan Natal Bersama Menag Picu Polemik, Dikecam sebagai Penyimpangan Akidah