Ia akan menyampaikan duka mendalam untuk korban. Kata-katanya penuh empati, bukan formalitas belaka. Ia akan bicara tentang keluarga yang kehilangan, para relawan, dan aparat di lapangan. Lalu, dengan jujur, ia akui bahwa sistem yang ia pimpin ternyata belum cukup kuat melindungi rakyatnya.
Paragraf selanjutnya mungkin berisi pengakuan pahit: bahwa ia bukan lagi orang yang tepat untuk memimpin pemulihan. Diperlukan tenaga dan perspektif baru. Ia tak ingin jadi penghalang perubahan hanya karena gengsi.
Tentu, keputusan mundur bukan perkara gampang. Akan ada spekulasi, kritik, dan tuduhan. Ada yang bilang ia lari dari masalah. Tapi baginya, semua itu tak sebanding dengan luka batin tiap kali membaca laporan korban baru.
Dalam surat itu, ia bisa berjanji bahwa pengabdiannya tak berhenti. Ia akan tetap membantu pemulihan, memberi masukan, dan hadir sebagai warga biasa yang peduli.
Setelah surat selesai ditandatangani, beban yang menghimpit dadanya mungkin akan perlahan luruh. Langkahnya menyusuri lorong gedung akan terasa berbeda. Lebih pelan, tapi lebih mantap. Ia mungkin akan dikenang bukan karena jabatannya, tapi karena keberanian moralnya hari itu.
Di depan pintu tempat ia menyerahkan surat, ia mungkin tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya sejak bencana, ia merasa melakukan hal yang benar.
Itulah skenario ideal yang kita bayangkan. Sebuah langkah elegan di tengah duka bangsa. Sebuah harapan bahwa untuk membangun kembali sesuatu yang hancur, kadang kita harus berani meletakkan apa yang kita genggam erat-erat.
Tapi realitanya? Sampai detik ini, belum ada satu pun yang melakukannya. Mereka semua masih bertahan. Bukan karena sudah berdamai dengan hati nurani, tapi mungkin karena alasan lain yang hanya mereka sendiri yang tahu. Dan sementara itu, mereka masih tetap tampil, bahkan terkadang masih bersuara lantang.
AM234
Artikel Terkait
Ulil Abshar dan Kekerasan Kultural: Ketika Wacana Agama Melegitimasi Perusakan Lingkungan
Kementerian Haji Buka Pendaftaran Petugas Haji Arab Saudi, Catat Tanggalnya!
GBK Macet Total, Ribuan Jemaat Serbu Perayaan Natal di Stadion Utama
Mimpi Sawit untuk Rakyat Tersandera Oligarki