Mundur dengan Elegan? Mustahil, Kata Mereka.
Suasana di Sumatra masih muram. Pasca bencana yang memorak-porandakan wilayah itu, sorotan justru mengarah ke Jakarta. Tepatnya, ke tiga menteri yang namanya disebut-sebut punya andil. Raja Juli Antoni, Bahlil Lahadalia, dan Hanif Faisol. Mereka ini punya kewenangan terkait izin kehutanan, tambang, hingga AMDAL. Pertanyaannya, akankah ada yang berinisiatif mundur?
Jawabannya, menurut banyak pengamat, hampir mustahil. Di Indonesia, kultur mundur secara terhormat demi tanggung jawab moral itu langka. Amat sangat langka.
Iqbal dari GreenPeace tak ragu menyuarakan kritik pedas.
Ia bahkan menyebut langkah hukum bukan hal yang tak mungkin. Kritik seperti ini patut diapresiasi. Dalam perjalanan sebuah negara, selalu ada momen di mana pemimpin dihadapkan pada pilihan getir: bertahan di kursi yang penuh kehormatan, atau melepaskannya demi kehormatan yang lebih tinggi. Sayangnya, pilihan kedua kerap hanya jadi bayangan.
Bayangkan saja. Di sebuah gedung pemerintahan yang megah, seorang pejabat berdiri lama di depan jendela. Senja menyala di kejauhan, sementara di balik pegunungan, Sumatra berduka. Laporan-laporan bencana menumpuk di mejanya. Setiap halaman seolah berteriak tentang kegagalan sistem, mitigasi, koordinasi. Tapi yang paling mengusik adalah bisikan halus: jangan-jangan, kebijakannya sendiri yang tak memadai.
Dalam kesunyian ruangan itu, pertanyaan besar mengemuka. Masih pantaskah ia duduk di kursi yang kini terasa begitu berat?
Sejatinya, nilai tanggung jawab dan amanah jabatan pasti mereka pahami. Seorang pemimpin harus siap memimpin di kala suka, dan lebih penting lagi, berani menanggung beban di kala duka. Namun realita politik kita kerap berkata lain. Banyak yang bertahan dengan segudang alasan. Mulai dari menjaga stabilitas, melanjutkan program, hingga sekadar tak ingin dianggap lemah.
Namun begitu, bayangkan jika ada yang memilih jalan berbeda. Setelah melihat langsung penderitaan korban, mendengar tangis anak-anak, dan menyadari ada yang salah dalam sistem peringatan dini. Bukan salah satu pihak saja, mungkin. Tapi ia merasa sebagian tanggung jawab itu ada di pundaknya. Dan tanggung jawab itu tak bisa lunas hanya dengan rapat darurat atau pernyataan pers.
Dengan hati berat, ia mungkin akan mulai menulis surat pengunduran diri. Bukan surat panjang berisi pembelaan. Tapi pengakuan jujur bahwa kehormatan bukan datang dari jabatan, melainkan dari ketulusan bersikap.
Artikel Terkait
Ulil Abshar dan Kekerasan Kultural: Ketika Wacana Agama Melegitimasi Perusakan Lingkungan
Kementerian Haji Buka Pendaftaran Petugas Haji Arab Saudi, Catat Tanggalnya!
GBK Macet Total, Ribuan Jemaat Serbu Perayaan Natal di Stadion Utama
Mimpi Sawit untuk Rakyat Tersandera Oligarki