Sumpah Tinggal Formalitas, Amanah Jadi Korban
Fenomena ini berulang terus di panggung publik kita. Kinerja lembaga bermasalah, pelayanan amburadul, rasa keadilan pun pincang. Kritik makin keras, tapi responsnya? Bukan perbaikan yang menyentuh akar. Yang muncul justru rilis survei dengan angka-angka mentereng, lalu ikrar dan sumpah massal mengatasnamakan Allah. Seolah semua masalah bisa lenyap hanya dengan rangkaian kata yang dilafalkan di depan kamera.
Padahal, persoalan sebenarnya bukan pada lembaganya. Lembaga cuma wadah. Jiwa dan wajahnya ditentukan oleh orang-orang di dalamnya. Moralitas, niat, cara kerja mereka. Nah, ketika kewenangan besar dan perangkat organisasi dipakai untuk melacurkan diri demi kepentingan pribadi atau kelompok, ya wajarlah lembaganya ikut tercemar. Publik marah pada simbol, padahal sumber kerusakan ada pada karakter manusianya yang mengkhianati amanah.
Resep pembenarannya biasanya mirip. Kritik dijawab dengan survei yang mengklaim tingkat kepercayaan masih tinggi. Narasinya dibangun seakan rakyat "dipaksa percaya" bahwa semuanya baik-baik saja. Padahal, survei itu alat. Bisa dipakai jujur untuk bercermin, bisa juga dipelintir jadi selimut statistik yang menutupi borok. Begitu angka dijadikan tameng, kejujuran pelan-pelan tersingkir.
Lalu, seringnya ikut tahap kedua: ikrar bersama. Sumpah ulang di aula besar. Kalimatnya megah, lafaz Allah disebut berulang, disisipi ayat-ayat agar terasa sakral. Tapi pola pikir di baliknya tetap sama: lebih sibuk mengelola citra ketimbang membenahi diri. Ikrar berubah jadi kosmetik moral, bukan pintu taubat. Sumpah yang mestinya mengikat jiwa di hadapan Allah, tergerus jadi sekadar bagian dari manajemen reputasi.
"Demi Allah" Cuma Jadi Kata Pembuka
Di sinilah ironinya jadi nyata. Para pejabat ini kan dari awal sudah bersumpah jabatan dengan menyebut nama Allah. Janji akan jujur, adil, amanah. Tapi begitu duduk di kursi kekuasaan, sumpah itu seolah menguap. Keputusan diambil bukan lagi berdasar nurani, tapi pesanan, tekanan, dan kepentingan. Di depan kamera mereka tampil sebagai pejabat bersumpah, di ruang tertutup berubah jadi operator kepentingan.
Masalahnya sederhana sekaligus menyesakkan. Mengucap "Demi Allah" ternyata jauh lebih gampang daripada hidup sesuai dengan kalimat itu. Banyak yang hafal naskah sumpah di podium, tapi gagap saat harus menjaganya dalam keputusan sehari-hari. Bibir sudah berjanji, hati malah sibuk cari seribu alasan untuk melanggar.
Seseorang yang sudah bersumpah di hadapan Allah seharusnya sadar. Setiap tanda tangan, setiap disposisi, akan kembali padanya sebagai bahan hisab.
Dengan kata lain, setiap kebijakan yang merugikan rakyat, setiap keberpihakan yang melukai keadilan, itu sedang mengikis makna sumpah yang pernah ia ucap sendiri. Sumpah tidak batal karena waktu. Yang sering berubah cuma rasa malunya.
Ditambah lagi model kepemimpinan yang salah orientasi. Kewenangan besar tanpa kompas moral yang jernih itu bahaya. Pemimpin yang mestinya penjaga amanah malah terjebak sebagai "jongos" yang patuh pada tuannya di atas, bukan pada kebenaran. Oportunisme menggantikan keberanian. Takut kehilangan jabatan mengalahkan takut melanggar sumpah di hadapan Allah. Penyimpangan di puncak lalu mengalir turun, jadi deviasi berjamaah di seluruh tubuh organisasi.
Ini bukan cuma soal manajemen kinerja. Akarnya lebih dalam: relasi manusia dengan Allah dan cara mereka memaknai ikrar di hadapan-Nya. Sumpah atas nama Allah mestinya menempatkan seluruh jiwa-raga dalam posisi tunduk pada kebenaran, bukan sekadar untuk mengamankan jabatan. Standarnya tinggi, jauh lebih tinggi dari sekadar naskah pelantikan.
Survei dan Kosmetik Moral
Begitu kinerja buruk mulai telanjang, biasanya muncul kebutuhan akut untuk "memperbaiki citra". Polanya nyaris baku. Pertama, rilis survei kepercayaan. Kedua, konferensi pers. Ketiga, ikrar atau deklarasi ulang komitmen.
Survei sejatinya alat netral. Bisa untuk bercermin, bisa juga untuk berdandan. Masalah dimulai saat angka kepercayaan tinggi diangkat besar-besaran, sementara kritik substansial dikecilkan. Publik diajak lihat grafik, bukan realita pelayanan sehari-hari. Narasinya cuma satu: "Tenang, rakyat masih percaya pada kami."
Artikel Terkait
Bupati Aceh Selatan Berangkat Umrah di Tengah Banjir Besar, Dikritik Abai Rakyat
Sopir Ngantuk, Travel Rombongan Turis China Terbalik di Tol Bali Mandara
Jakarta Terancam Tenggelam: Warga Masih Bergantung pada Air Tanah di Kampung Bandan
Beras Bulog yang Tua: Saat Stok Lama Kehilangan Nyawanya