Padahal di akar rumput, keluhan nyata bertebaran: laporan mangkrak, kasus jalan di tempat, keadilan yang bisa ditawar.
Lalu masuk tahap ikrar. Pegawai dikumpulkan di aula, berbaris rapi, mengucapkan komitmen. Lafaz Allah disebut lagi, ayat dibacakan, suasana dikhidmatkan. Secara lahir, tampak indah. Foto tersebar, video diposting. Tapi publik sekarang makin cerdas. Mereka bisa bedakan mana tindakan lahir dari kesadaran, mana yang cuma bentuk kepanikan citra.
Ikrar akan punya makna kalau diikuti tiga hal. Pertama, pengakuan jujur bahwa memang ada masalah serius tanpa ini, ikrar cuma kalimat defensif. Kedua, langkah konkret perbaikan sistem dan perilaku. Ketiga, keteladanan pimpinan. Percuma ikrar kalau yang paling sering langgar justru orang yang berdiri di barisan depan.
Tanpa itu, ikrar cuma jadi kosmetik moral. Kulit mulus, tapi infeksi di dalam tak diobati. Sumpah jadi alat "layering" citra, bukan pintu taubat.
Pemimpin yang Lupa Siapa 'Majikan'-nya
Di ruang publik, banyak pemimpin tampak gagah. Seragam rapi, pangkat penuh, pidato tertata. Tapi ada pertanyaan sederhana yang sering tak terjawab jujur: sebenarnya dia ini mengabdi kepada siapa?
Secara teori, pejabat negara mengabdi pada konstitusi dan rakyat. Dan di level terdalam, mengabdi pada Allah yang akan meminta pertanggungjawaban. Sumpah jabatan pakai nama Allah mestinya mengunci arah itu. Begitu "Demi Allah" diucap, saat itu juga ia nyatakan bahwa majikan tertingginya adalah Allah, bukan atasan struktural atau kekuasaan politik.
Realitanya? Sering terbalik. Banyak yang perilakunya menunjukkan "majikan" sesungguhnya adalah kekuasaan politik yang bisa mengangkat dan menjatuhkan, atau pemilik modal yang bisa memberi dukungan.
Sumpah pada Allah cuma muncul di ruang pelantikan. Setelah itu, yang ditaati bisikan kekuasaan, bukan suara nurani. Model kepemimpinan begini melahirkan figur "jongos". Secara posisi dia pemimpin, tapi cara pikirnya pelayan kepentingan. Ia patuh selama posisinya aman. Ia bergerak bukan berdasarkan benar-salah, tapi aman-berisiko.
Pemimpin yang sadar dirinya "sudah dibeli" oleh Allah tidak gampang dipaksa jadi jongos. Dia mungkin kehilangan jabatan, tapi tak mau kehilangan muka di hadapan Allah. Sebaliknya, pemimpin yang merasa "dibeli" kekuasaan akan selalu gelisah. Hari ini membela A, besok membela B. Sumpahnya fleksibel, ikut arah angin. Kata "Demi Allah" berubah jadi stempel sakral untuk membenarkan langkah yang lahir dari ketakutan.
Di titik inilah kerusakan jadi masif. Aparat junior lihat, yang dihargai bukan yang pegang sumpah, tapi yang pandai baca selera atasan. Mereka belajar bahwa amanah cuma slogan. Yang "menghidupi" karier adalah loyalitas pada orang, bukan pada kebenaran. Budaya organisasi bergeser pelan dari pengabdian ke penjilatan.
Mengembalikan Sumpah ke Makna Asal
Kalau akar masalahnya sumpah yang kehilangan makna, jalan keluarnya bukan tambah seremoni. Tapi mengembalikan arti sumpah itu sendiri. Sumpah itu pagar. Ada garis yang tak boleh dilanggar setelah kalimat itu diucap. Di dalam sumpah, seseorang menegaskan pada dirinya: ada wilayah moral yang tak boleh diinjak, ada keputusan yang tak boleh ditandatangani, meski tekanan datang dari mana saja.
Bagi pejabat, hukumnya sederhana tapi berat. Setiap tanda tangan di berkas adalah bagian dari jawabannya pada Allah. Setiap pembiaran penyimpangan adalah goresan yang cederai kejujuran dirinya sendiri. Di sini, yang menentukan bukan lagi teks sumpahnya, tapi kejujuran hati untuk mengakui bahwa orientasi sudah bergeser. Mengakui bahwa selama ini lebih sibuk membela citra ketimbang membenahi diri. Tanpa pengakuan ini, taubat mustahil terjadi. Dan tanpa taubat, ikrar cuma jadi obat penenang sesaat menenangkan publik, tapi tak pernah menyembuhkan penyakitnya.
Wallahualam bishawab.
Artikel Terkait
Bupati Aceh Selatan Berangkat Umrah di Tengah Banjir Besar, Dikritik Abai Rakyat
Sopir Ngantuk, Travel Rombongan Turis China Terbalik di Tol Bali Mandara
Jakarta Terancam Tenggelam: Warga Masih Bergantung pada Air Tanah di Kampung Bandan
Beras Bulog yang Tua: Saat Stok Lama Kehilangan Nyawanya