Siapa pun sebenarnya berhak mendapat kesempatan, asal punya tekad untuk memperbaiki hidupnya lewat jalan yang baik. Itulah prinsip sederhana yang sering terlupakan.
Beberapa tahun silam, Muhammad Fadillah Akbar merasakan sendiri betapa sulitnya. Sebagai seorang tuna rungu dan wicara, ia berkeliling Surabaya mencari pekerjaan. Lowongan yang ada selalu mensyaratkan pengalaman, sementara peluang bagi disabilitas seperti dirinya masih sangat terbatas.
“Saya pernah keliling di kawasan Jalan Tunjungan Surabaya melamar pekerjaan, menawarkan diri sebagai barista kopi yang masih serabutan hasil dari belajar otodidak. Alhasil, semua tempat menolak. Alasannya belum mempunyai pengalaman kerja sama sekali dan mereka juga belum bisa menerima disabilitas,” ujarnya.
Namun begitu, Akbar begitu ia biasa disapa tak mau larut. Ia justru mencari teman-teman komunitas, menggali informasi, dan mengikuti pelatihan kopi yang diadakan beberapa instansi di Surabaya.
“Saya bangga saat ini dapat menjalani profesi sebagai barista, ya seperti pada umumnya seorang barista di Coffe Shop, tetapi semua yang ada di Kopi Tutur Rasa ini disabilitas. Jadi ini semacam tempat untuk bertukar ide dan pikiran antar sesama tuna rungu dan wicara,”
imbuhnya sembari dengan cekatan menyiapkan pesanan kopi seorang pelanggan.
Di balik Kopi Tutur Rasa ada semangat yang lebih besar. Program ini digagas oleh para wiraswasta di bidang perhotelan di Surabaya. Beberapa cabang grup hotel mereka kini membuka pintu bagi rekan-rekan disabilitas, dengan penyesuaian syarat dan kondisi kerja.
Corporate General Manager Midtown Hotels Indonesia, Donny Manuarva, menjelaskan latar belakangnya.
“Kami memulai ini dengan semangat kesetaraan, kasihan mereka yang punya keahlian meracik kopi tetapi tidak ada tempat yang menampung. Kami kumpulkan mereka dan diberikan pelatihan, terbukti mereka berhasil membuat pasarnya sendiri dengan caranya yang disesuaikan kondisi,”
Menurut Donny, yang tak kalah penting adalah dukungan dari inner circle sesama disabilitas. Di gerai Kopi Tutur Rasa, mereka belajar berkomunikasi dengan pengunjung menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang terpampang di sana.
“Peluang itu penting, karena memunculkan kesempatan. Bagi teman-teman disabilitas mereka ingin kesempatan itu ada, karena mereka tidak ingin mencari simpati dari belas kasihan atas keterbatasanya tersebut,” tegasnya.
Pendapat senada datang dari Leo Arief Budiman, pendiri Disabilitas Berkarya. Ia menekankan, dunia kerja adalah pengalaman penting yang harus bisa dirasakan oleh teman-teman disabilitas. Mereka butuh keluar dari komunitasnya, bersentuhan dengan hal-hal baru.
Artikel Terkait
Akses Darat Mulai Pulih, Operasi Udara Dipercepat untuk Bantu Korban Aceh
Tim Medis Beraksi di Tengah Reruntuhan Batu Busuk, Korban Banjir Bandang Tembus 800 Jiwa
Tito Karnavian: Daerah Diminta Gotong Royong Salurkan Hibah untuk Penanganan Bencana
Prabowo Diharapkan Buka Puncak Hari Antikorupsi Sedunia di Jogja