Sibolga Tenggelam, Izin Tambang Mengapung: Saat Negara Membiarkan Hulu Hancur Demi Investasi

- Rabu, 03 Desember 2025 | 07:50 WIB
Sibolga Tenggelam, Izin Tambang Mengapung: Saat Negara Membiarkan Hulu Hancur Demi Investasi

Oleh: Tri Wibowo Santoso

Banjir yang melanda Sibolga itu bukan cuma soal hujan deras. Terlalu gampang menyalahkan siklon tropis. Itu sih cara paling aman buat pejabat yang malas dan korporasi yang jago bersembunyi.

Hujan cuma pemicu. Akar masalahnya jauh lebih dalam: keputusan-keputusan di balik meja yang sudah berlangsung puluhan tahun. Keputusan yang mengubah hulu sungai jadi ladang konsesi. Tidak ada bencana besar yang muncul dalam sehari. Yang ada adalah kegagalan negara yang terus diulang, lalu dibungkus dengan retorika teknis.

Lihatlah hulu Sibolga. Wilayah itu dimutilasi secara legal oleh izin-izin yang tumpang tindih. Di atas kertas, semuanya sah. Tapi dalam kenyataan, izin itu justru membuka pintu bagi eksploitasi di area yang mestinya jadi benteng ekologis. Di sinilah negara bermain di wilayah abu-abu yang berbahaya: memakai legalitas formal untuk menutupi ketidakpatutan yang nyata.

Padahal, aturannya sudah jelas. UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tegas melarang alih fungsi hutan lindung jika berpotensi picu erosi dan banjir. Namun aturan itu cuma jadi pajangan. Sekaligus jadi pembenaran formal bagi mereka yang berani menandatangani izin eksploitasi.

Lalu ada Amdal. Setelah UU 32/2009 mewajibkannya, banyak orang mengira ini adalah mekanisme pengaman yang ampuh. Sayangnya, Amdal hanya sekuat integritas orang yang membuat dan menyetujuinya. Walhi dan sejumlah LSM sudah lama berteriak soal audit Amdal PT Agincourt Resources. Tapi audit itu kalau memang pernah ada nyaris tak pernah dibuka ke publik. Transparansi menguap, rakyat kebanjiran.

Struktur perizinan kita ibarat labirin. Seolah sengaja dirancang untuk memberi ruang aman bagi pejabat dan korporasi saat bencana datang. Izin dari Menteri Kehutanan di satu era, diperkuat pejabat ESDM di era lain, lalu dilengkapi gubernur. Akibatnya, lempar tanggung jawab jadi mudah. Tanggung jawab hukum pun jadi kabur.

Memang, UU 32/2009 punya pasal yang kuat. Pasal 69 mewajibkan perlindungan lingkungan. Pasal 88 menegaskan tanggung jawab mutlak pelaku usaha jika kegiatannya merusak lingkungan.

Tapi logikanya sederhana: bagaimana mungkin publik menuntut tanggung jawab mutlak, jika dokumen perizinan dan audit lingkungannya saja tertutup rapat? Perusahaan bisa berlindung di balik penghargaan Proper Hijau dari negara. Sementara warga yang rumahnya hanyut cuma dapat bantuan mie instan.


Halaman:

Komentar