Ironisnya, kontradiksi paling menyolok justru datang dari negara sendiri. Negara memberi penghargaan pada perusahaan yang beroperasi di kawasan yang kini terbukti kritis. Penghargaan itu dipakai sebagai bukti kepatuhan. Padahal secara hukum, penghargaan tak menghapus kewajiban. Tapi secara politik, ia ampuh untuk membungkam kritik. Inilah bukti nyata birokrasi kita mudah disandera modal.
Regulatory capture bukan teori. Itu kenyataan yang menenggelamkan kampung-kampung.
Izin awal PT Agincourt terbit tahun 1997. Setiap perpanjangan, ekspansi, dan revisi dokumen sejak saat itu harus dibuka satu per satu. Publik berhak tahu siapa yang menandatangani, dan atas dasar apa. Setiap menteri kehutanan dan menteri lingkungan hidup sejak izin itu keluar, mustahil tidak tahu operasi sebesar itu. Tidak mungkin tambang raksasa berjalan mulus tanpa relasi yang baik dengan kementerian. Mustahil pula mereka tidak tahu kondisi hulu yang makin parah.
Jika negara ingin bebas dari tuduhan kelalaian struktural, hanya ada satu jalan: buka semua dokumen perizinan secara lengkap. Periksa setiap pejabat yang pernah membubuhkan tanda tangannya.
Bencana Sibolga bukan kecelakaan. Ini adalah hasil akumulasi keputusan buruk. Negara terlalu mudah mengorbankan hulu demi investasi, lalu menyuruh warga hilir untuk "bersabar". Padahal, Pasal 28H UUD 1945 jelas-jelas menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak rakyat sering jadi iklan, tapi jarang jadi prioritas.
Banjir bandang di Sibolga adalah alarm. Yang runtuh bukan cuma rumah warga, tapi juga legitimasi cara negara mengelola sumber daya. Jika ini dibiarkan, bencana serupa bukan lagi potensi, melainkan kepastian.
Yang perlu diselidiki bukan cuma kerusakan hutannya. Tapi juga kerusakan integritas dalam sistem perizinan kita. Tidak cukup menyalahkan cuaca, ketika akar kerusakan ada di meja pejabat dan ruang rapat pemegang saham.
Saat negara sibuk menunggu data cuaca, rakyat sudah tenggelam oleh data korupsi kebijakan. Selama legalitas masih bisa dibeli, hutan akan terus dirampas, sungai akan tetap rusak. Bencana hanya menunggu giliran daerah mana berikutnya yang akan dihancurkan.
(Direktur Lingkar Study Data dan Informasi/LSDI)
Artikel Terkait
Generasi Skip: Ketika Paragraf Panjang Menjadi Beban di Kelas
Dari Medali ke Meja Kantor: Perjalanan Realistis Atlet Disabilitas Surabaya
Dari Tawuran ke Lapangan Hijau: Kisah Angga yang Bangkit Setelah Amputasi
WALHI Tuding Tujuh Perusahaan Picu Banjir Bandang Tapanuli