Gen Z dan Luka di Balik Senyum Layar Kaca

- Jumat, 21 November 2025 | 22:06 WIB
Gen Z dan Luka di Balik Senyum Layar Kaca

Padahal, kalau dibiarkan berlarut-larut, dampaknya bisa serius. Prestasi akademik atau karier bisa anjlok, hubungan sosial rusak, bahkan sampai muncul pikiran untuk menyakiti diri sendiri.

Beberapa tanda yang perlu diwaspadai antara lain: perasaan sedih atau cemas yang tak kunjung hilang selama lebih dari dua minggu, kehilangan minat pada hal-hal yang dulu disukai, perubahan signifikan dalam pola tidur atau makan, sulit fokus dalam waktu lama, dan yang paling penting, munculnya pikiran untuk menyakiti diri sendiri.

Sistem Dukungan yang Masih Tertatih

Di sisi lain, akses ke layanan kesehatan mental masih sangat terbatas. Psikolog dan psikiater belum merata di semua daerah. Biaya konseling juga sering dianggap mahal, jadi banyak yang urung mencari pertolongan.

Dukungan dari lingkungan terdekat pun belum optimal. Masih ada orang tua atau guru yang menganggap masalah mental sebagai bentuk "kemanjaan" atau "kurang iman". Padahal, validasi dan pemahaman dari orang sekitar sangat penting dalam proses penyembuhan.

Yang Benar-Benar Dibutuhkan Gen Z

Layanan psikologi saja tidak cukup. Mereka butuh lebih dari itu. Mereka butuh ruang aman untuk menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Lingkungan yang mendukung, bukan menyalahkan. Akses ke konten edukatif tentang kesehatan mental yang mudah dipahami. Dan yang tak kalah penting, dukungan nyata dari keluarga, guru, dan teman sebaya.

Kampus, tempat kerja, dan komunitas perlu menciptakan sistem dukungan yang jelas. Mulai dari menyediakan ruang konseling, program dukungan sebaya, sampai kebijakan cuti kesehatan mental yang manusiawi.

Dunia Digital: Teman sekaligus Lawan

Teknologi ibarat pisau bermata dua. Media sosial bisa jadi sumber tekanan lewat perbandingan sosial yang tidak sehat. Tapi di saat yang sama, platform digital juga bisa jadi jembatan menuju edukasi dan layanan psikologi yang lebih mudah diakses.

Konten kreatif tentang self-healing, journaling, dan kesehatan jiwa bisa menjadi pintu masuk positif bagi Gen Z untuk lebih memahami kondisi mental mereka sendiri.

Gangguan mental bukan sekadar "masalah di kepala". Ini adalah bagian dari kesehatan holistik yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Gen Z mungkin terlihat terbuka dan kuat, tapi mereka juga sangat rentan.

Sudah waktunya kita berhenti menghakimi dan mulai memahami. Membuka ruang bicara, menciptakan lingkungan yang suportif, dan memberikan akses ke bantuan profesional bukanlah kemewahan ini kebutuhan mendesak.

Menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga napas. Karena semangat hidup bermula dari pikiran yang sehat.


Halaman:

Komentar