Karsa Budaya Prima: Ketika CSR Menjadi Nadi Pelestarian Warisan Nusantara

- Rabu, 26 November 2025 | 20:00 WIB
Karsa Budaya Prima: Ketika CSR Menjadi Nadi Pelestarian Warisan Nusantara

Prof. Dr. Jaeni, S.Sn., M.Si.: Memajukan Budaya Lewat CSR Karsa Budaya Prima

Indonesia punya kekayaan budaya yang begitu beragam, hampir tak tertandingi. Setiap jengkal tanah air ini punya cerita, punya ekspresi khas yang menjadi identitas sekaligus kearifan lokal masyarakatnya. Tapi zaman terus berubah. Derasnya arus modernisasi dan globalisasi kerap menggerus perlahan-lahan warisan leluhur yang seharusnya tetap lestari. Di sinilah peran perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility atau CSR menjadi kian penting. Bukan sekadar tanggung jawab, melainkan peluang strategis untuk ikut membangun ekosistem kebudayaan yang tangguh.

Sebagai landasan hukum, UU Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017 telah menetapkan sepuluh Objek Pemajuan Kebudayaan disingkat OPK. Di dalamnya tercakup Tradisi Lisan, Manuskrip, Adat Istiadat, Ritus, Pengetahuan Tradisional, Teknologi Tradisional, Seni, Bahasa, Permainan Rakyat, dan Olahraga Tradisional. Semuanya adalah amanat negara untuk dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan. Tapi pertanyaannya, mana yang bisa diambil oleh perusahaan lewat program CSR mereka?

Sebenarnya, semua objek budaya itu penting. Tapi perusahaan tentu perlu punya strategi. Mereka bisa memilih prioritas berdasarkan potensi pemberdayaan ekonomi, dampak sosial, dan tentu saja relevansinya dengan komunitas di sekitar lokasi operasi. Ambil contoh Pengetahuan Tradisional, Teknologi Tradisional, dan Seni lokal. Ketiganya punya peluang besar untuk dikembangkan jadi usaha mikro atau festival seni yang mendatangkan dampak ekonomi nyata. Dengan begitu, budaya tak cuma jadi kenangan, tapi juga sumber nafkah.

Di sisi lain, upaya seperti inventarisasi Tradisi Lisan dan digitalisasi Manuskrip juga tak kalah genting. Ini soal menyelamatkan warisan yang hampir punah. Bayangkan naskah Babad Padjadjaran yang memuat kisah asal-usul Subang dan tokoh Subang Larang. Kalau tidak didokumentasikan dengan baik, bisa-bisa generasi mendatang tak lagi mengenalnya. Ini investasi jangka panjang untuk menjaga ingatan kolektif bangsa.


Halaman:

Komentar