“Jadilah muncul ide,” kenangnya. “Gimana kalau cerita yang sama ini aku tulis ulang, tapi dengan universe dan karakter yang benar-benar beda? Yaitu dunia semut.” Dan jadilah "Koloni" seperti yang kita kenal sekarang.
Atmosfer yang Berbeda
Dibandingkan dengan "Gadis Kretek" yang kental nuansa sejarahnya, "Koloni" menawarkan pengalaman membaca yang jauh berbeda. Ratih menggambarkannya punya vibe seperti dongeng. Pembaca akan dibawa ke atmosfer yang lebih imajinatif dan penuh metafora.
Yang mengejutkan, proses riset untuk dunia semut ini justru berjalan menyenangkan. Awalnya Ratih mengira akan kesulitan, tapi ternyata tidak. “Studi tentang semut sangat mudah ditemukan di internet. Mereka punya komunitasnya sendiri dan informasinya bertebaran,” ujarnya sambil tertanda lega. Di sela-sela itu, ia juga sedang mempersiapkan buku non-fiksi tentang penulisan yang rencananya terbit tahun depan.
Melalui "Koloni", Ratih punya harapan besar. Ia ingin pembacanya menjadi manusia yang kritis, dan berani menyampaikan kritik dengan caranya masing-masing. “Bahkan dengan cara yang paling main-main sekalipun, bisa kok,” tegasnya. “Koloni ini adalah bentuk aku bermain-main, sekaligus menyampaikan hal-hal kritis tentang isu yang kupedulikan.”
Artikel Terkait
Masa Depan Tanpa Uang Tunai: Elon Musk Ramalkan Era Baru di Mana AI dan Robot Hapus Kemiskinan
Stasiun Jatinegara Ditinggalkan, Enam Kereta Jarak Jauh Tak Berhenti Lagi
Roy Suryo Dicekal ke Luar Negeri, Diizinkan Jalan-jalan ke Bali
Blusukan Pramono Anung ke Ragunan, Pastikan Kondisi Harimau Sri Deli Kini Sehat