Otonomi Daerah Mandek, Pakar Soroti Lemahnya Political Will Pemerintah Pusat

- Sabtu, 22 November 2025 | 09:45 WIB
Otonomi Daerah Mandek, Pakar Soroti Lemahnya Political Will Pemerintah Pusat

Di Bekasi, sejumlah pakar dan anggota dewan berkumpul untuk membahas nasib daerah dan desa. Badan Pengkajian MPR Kelompok III menggelar Focus Group Discussion yang mengangkat tema cukup kompleks: 'Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah dan Desa'. Acara kemarin itu menyoroti berbagai persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan lokal.

Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Hindun Anisah, langsung menyentuh persoalan konstitusional. "Apakah pasal-pasal dalam Bab VI UUD NRI Tahun 1945 sudah cukup ideal?" tanyanya dalam keterangan resmi, Sabtu (22/11/2025). "Masih relevankah hingga saat ini, atau justru perlu penajaman baik melalui tafsir maupun penyesuaian?"

Hindun tak berhenti di situ. Dalam paparannya, dia mengungkapkan kesenjangan antara cita konstitusi dan realita. Konstitusi memang menegaskan hubungan seimbang antara pusat dan daerah, mencakup kewenangan, kelembagaan, keuangan, hingga pengawasan. Tapi kenyataannya? "Masih terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah," ujarnya.

Persoalan desa pun tak luput dari pembahasan. Menurut Hindun, landasan konstitusional tentang posisi desa dalam sistem pemerintahan masih perlu kejelasan. Pasal 18B memang mengakui masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, tapi istilah 'desa' sendiri tak disebut secara eksplisit. "Apakah ini sudah cukup?" tanyanya retoris.

Yang cukup menarik, Hindun menyoroti dualisme pengaturan desa. Di satu sisi, desa dipandang sebagai entitas sosiologis dan kultural yang harus dilestarikan. Namun di sisi lain, desa juga menjadi bagian struktur pemerintahan. "Dualisme ini bisa menimbulkan problem kelembagaan," jelasnya. "Desa diurus lebih dari satu kementerian, bahkan tiga empat kementerian, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan dan duplikasi program."

Sistem pemilihan kepala daerah juga ikut menjadi bahan perdebatan. Pasal 18 Ayat 4 menyebut kepala daerah dipilih secara demokratis, tapi makna 'demokratis' sendiri masih multitafsir. "Apakah demokrasi langsung, atau selain pilkada langsung bisa diterjemahkan sebagai demokratis?" tanya Hindun. Pilkada belakangan ini memunculkan persoalan serius, mulai dari ongkos politik yang membengkak, polarisasi sosial, hingga efektivitas hubungan hierarkis antar tingkat pemerintahan.

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Hukum UPN 'Veteran' Jakarta, Dr. Wicipto Setiadi, memaparkan empat aspek krusial dalam hubungan pusat-daerah. Dalam paparan berjudul "Pengaturan Ideal Hubungan Pusat dan Daerah sesuai UUD NRI Tahun 1945", dia menyoroti aspek kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan.


Halaman:

Komentar