Menurut Wicipto, pembagian urusan antara pusat dan daerah sering tumpang tindih. Penarikan kembali urusan tertentu oleh pusat menimbulkan ketidakpastian, sementara urusan 'konkuren' tak dilengkapi standar yang jelas. Solusinya? "Penyempurnaan pembagian urusan pemerintahan dengan kriteria terukur," tegasnya. Dia menekankan perlunya penguatan otonomi substansi, bukan sekadar administrasi, plus standarisasi layanan publik yang tetap fleksibel menyesuaikan konteks lokal.
Sementara itu, Sri Budi Eko Wardani dari Departemen Ilmu Politik FISIP UI melihat desentralisasi sebagai fenomena global. "World Bank mengobservasi bahwa lebih dari 60 pemerintahan di dunia, utamanya negara berkembang, telah menerapkan desentralisasi dalam berbagai bentuk sejak 1980-an," ungkapnya.
Menurut Sri Budi, desentralisasi, demokrasi, dan liberalisasi berada dalam satu rumpun keluarga. "Dengan desentralisasi terjadi transfer kewenangan, responsibility, dan resources," jelasnya. Tapi persoalannya, sejauh mana komitmen pemerintah pusat benar-benar mentransfer power tersebut ke daerah?
Pertanyaan itulah yang kemudian memicu diskusi lebih lanjut. Dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Sudirta bersuara lantang. Menurutnya, persoalan dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya sudah banyak diketahui, solusinya pun sudah ada. Tapi semua itu percuma. "Kalau tidak ada kemauan politik atau political will, tetap saja tidak ada perubahan," tegasnya. "Ini persoalan political will dari orang-orang yang mengurus negara ini belum mendukung desentralisasi dan otonomi daerah."
Wicipto pun angkat bicara menanggapi pernyataan tersebut. Konstitusi sebenarnya sudah memberi arahan cukup baik tentang desentralisasi dan otonomi daerah, bahkan peraturan undang-undangnya pun sudah ada. Tapi implementasinya masih setengah hati. "Persoalannya ada pada peraturan pelaksanaan dan political will yang belum sepenuhnya melaksanakan desentralisasi seperti yang diarahkan konstitusi," katanya.
Regulasi sektoral, ego sektoral, dan ego daerah disebut Wicipto sebagai penghambat utama. "Political will adalah faktor penentu," tegasnya. "Buat apa regulasi sudah baik, tapi tidak ada political will. Sekarang malah ada sentralisasi terselubung dengan regulasi-regulasi sektoral yang sudah ada di daerah ditarik kembali ke pusat."
FGD yang dihadiri sejumlah anggota Badan Pengkajian MPR dan pakar ini menegaskan satu hal: jalan menuju otonomi daerah yang ideal masih panjang, dan political will menjadi kunci utamanya.
Artikel Terkait
APUDSI Genjot Ekspansi, Wujudkan Ekosistem Usaha Desa di Seluruh Nusantara
Amukan Pria di Bogor Usai Meludahi Menu Makanan Gratis untuk Anak Sekolah
Trump Beri Ultimatum ke Zelensky: Terima Rencana Damai atau Terus Bertempur
Muhammadiyah Soroti Jasa Nikah Siri: Komodifikasi Agama yang Kian Marak