Semakin ditekan, masyarakat justru akan semakin keras melawan. Maka itu, Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid meminta pemerintah untuk bijak dan melibatkan masyarakat dalam membuat kebijakan soal pajak dan kebijakan-kebijakan lainnya agar tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
“Kebijakan pemerintah dibuat tanpa kajian yang cukup. Suara rakyat semakin ditekan, sehingga muncul berbagai bentuk perlawanan, mulai dari kabur aja dulu atau Indonesia gelap,” kata Alissa dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, 24 Agustus 2025
Menurutnya penting membuat kebijakan pro rakyat agar tak menimbulkan gejolak besar di masyarakat seperti yang terjadi di Pati yang menaikkan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen, yang kemudian disusul aksi demonstrasi serupa di Bone, Sulawesi Selatan, menentang kebijakan Pemda setempat yang menaikkan PBB-P2 sebesar 400 persen.
Alissa menegaskan, dalam demokrasi, suara rakyat harus didengar dan dilibatkan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan. Kondisi ini menjadi perhatian serius GUSDURian, terutama untuk mengantisipasi potensi melemahnya kedaulatan sipil.
“Demokrasi hanya bisa tegak jika kedaulatan sipil tetap kuat. Kalau kekuasaan sipil berada di bawah kendali militer, suara rakyat tidak akan pernah menjadi yang utama,” ujarnya.
Selain soal penguatan demokrasi, dalam Tunas GUSDURian mendatang, juga akan membahas soal ekologi.
Alissa menuturkan bahwa secara global, dunia sedang menghadapi krisis iklim. Di Indonesia, kondisi ini diperburuk oleh industri ekstraktif yang masih beroperasi dengan pendekatan kekuasaan. Dampaknya, masyarakat adat tersingkir dan ekosistem mengalami kerusakan parah.
“Hampir tidak ada, pertambangan yang benar-benar memulihkan lingkungan. Bahkan, karena penyelenggara, pemerintah itu masih abai terhadap aturan hukum, kewajiban reklamasi tidak dilakukan. Akibatnya, banyak masyarakat menjadi korban, jatuh ke lubang tambang, atau tanah tandus tanpa penghijauan kembali,” jelasnya.
Menurut Alissa, isu yang diangkat bukan sekadar masalah ekologis, melainkan juga keadilan ekologis.
“Keadilan ini mencakup perlindungan bagi masyarakat adat sekaligus menjaga hak-hak alam,” kata Alissa.
Alissa menambahkan, dalam Tunas GUSDURian 2025, nantinya akan disusun rekomendasi konkret untuk memperkuat demokrasi dan keadilan ekologi bagi masyarakat Indonesia.
“Gus Dur itu bekerja berbasis nilai, kita fokus pada nilai-nilai tersebut harus diturunkan dalam bentuk yang lebih kongkret,” tuturnya.
TUNAS Jaringan GUSDURian merupakan momen konsolidasi para penggerak GUSDURian. Kegiatan mengangkat tema Meneladani Gus Dur, Menguatkan Indonesia diikuti 2000 peserta, terdiri dari Komunitas GUSDURian, sahabat dan murid Gud Dur, individu, lembaga, tokoh lintas agama, jejaring masyarakat sipil, serta para akademisi dari berbagai daerah di Indonesia.
Adapun kegiatan meliputi Konferensi Pemikiran Gus Dur, Forum Gerakan, dan Festival Gerakan. Dalam forum tersebut juga digelar Community Space: bazar dan pameran gerakan; Learning Space: ruang berbagi pengetahuan dan keterampulan yang diisi para pakar dan penggerak; serta dimeriahkan dengan Malam Budaya.
Sejumlah tokoh yang akan hadir di antaranya KH. Husein Muhammad, Dewi Kanti Setianingsih, Greg Barton, Mahfud MD, Badriyah Fayumi, Kamala Candrakirana, Laode M. Syarif, Tantowi J. Musaddad, Nissa Wargadipura, dan Sandra Moniaga.***
Sumber: hukamanews
Foto: Direktur Gusdurian, Alissa Wahid/Net
Artikel Terkait
Demo di DPR Membara, Massa Adang Balik Polisi hingga Jatuh dari Motor
Partai Buruh Tunda Aksi di DPR, Siapkan Demo Akbar 28 Agustus di Seluruh Indonesia
Massa Demo DPR Geser ke Gerbang Pancasila, Bobol Pagar hingga Bakar Motor
Polisi Pukul Mundur Massa Pendemo 25 Agustus di DPR, Emak-emak Melawan: Rakyat yang Berkuasa!