Negara selalu tampak paling mulia saat urusannya adalah anak-anak. Membicarakan masa depan, semua kebijakan seolah otomatis suci. Jadi, ketika Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan, publik langsung diminta untuk menanggalkan segala kecurigaan. Ini soal gizi, kata mereka. Tentang anak-anak. Dua kata sakti yang, kalau sudah digabung, sering membuat pertanyaan terasa seperti perbuatan tak pantas.
Tapi, kehidupan nyata punya satu kebiasaan yang menjengkelkan: ia suka sekali menghitung.
Coba lihat meja makan rakyat biasa. Sepiring nasi, sebutir telur, sayur bening, plus lauk sederhana jarang sekali harganya menyentuh angka sepuluh ribu rupiah. Apalagi kalau dimasak dalam skala besar, dengan bahan-bahan grosiran dan menu yang disamaratakan. Nah, di sinilah persoalannya. Saat negara menyebut angka Rp10.000 per porsi, masyarakat sebenarnya tidak sedang mencurigai niat baik. Mereka cuma mengingat harga yang biasa mereka lihat di pasar.
Menurut sejumlah pengamat, di sinilah dapur MBG masuk ke wilayah tafsir yang canggung.
Secara resmi, dapur-dapur ini diklaim beroperasi at cost. Tidak cari untung, cuma ganti biaya produksi. Frasa yang terdengar bersih, rapi, seperti laporan keuangan yang baru dicetak. Tapi, istilah at cost itu cuma punya makna kalau dapurnya benar-benar transparan. Kalau tidak? Ia berubah jadi semacam mantra administratif. Sah-sah saja, tapi ya… kurang meyakinkan.
Soalnya, dalam prakteknya, ‘biaya’ itu sifatnya lentur banget.
Biaya bisa ditekan. Menu bisa disederhanakan. Kualitas pun bisa dinegosiasikan. Dan setiap rupiah yang akhirnya tidak masuk ke piring anak, akan dicatat sebagai ‘efisiensi’. Bagi negara, itu namanya keberhasilan. Bagi publik, itu disebut sisa. Sementara bagi dapur, mungkin itu sekadar napas untuk bertahan.
Secara hukum, sih, mungkin tak ada yang salah. Masalahnya lebih pada suasana yang tercipta.
Contohnya, ketika program ini tetap jalan di hari libur sekolah. Saat dapur tetap beroperasi meski anak-anak sedang tidak belajar, orang mulai membaca sinyal lain. Rasanya, program ini seolah tak boleh berhenti. Bukan karena anak-anak kelaparan di hari libur tapi lebih karena ada sebuah ekosistem yang tidak boleh kehilangan aliran dana, bahkan untuk sehari saja.
Di titik ini, dapur tidak lagi terlihat sebagai pelaksana misi sosial. Ia lebih mirip unit produksi yang harus terus menyala. Api kompor pun berubah simbol: dari alat memasak jadi penanda keberlanjutan anggaran. Kalau kompornya padam, grafik serapan dana bisa ikut turun.
Artikel Terkait
Netanyahu dan Trump Bahas Gaza dan Iran di Mar-a-Lago, Hamas Tolak Rencana Pelucutan Senjata
Gus Ipul Geram, Nenek 80 Tahun Digusur Paksa di Surabaya
Wakil Ketua MPR Usulkan Pilkada Kembali ke DPRD, Sebut Demi Redam Politik Uang dan Dinasti
Malam di Markas Bos Top: Saat Kolor Hilang Dibahas Setara Makar