Gugatan Cerai Melonjak: Perempuan Indonesia Kini Lebih Berani?

- Jumat, 26 Desember 2025 | 09:50 WIB
Gugatan Cerai Melonjak: Perempuan Indonesia Kini Lebih Berani?

Dalam Islam, perceraian memang diizinkan, tapi posisinya sangat jelas: ia adalah jalan terakhir. Sesuatu yang halal, namun paling dibenci Allah. Prinsip utamanya adalah upaya rekonsiliasi. Seperti diisyaratkan dalam An-Nisa ayat 35, ketika ada persengketaan, diutuslah juru damai dari kedua belah pihak keluarga untuk mendamaikan.

Pernikahan dalam Islam dibangun di atas fondasi kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dan dianggap sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan). Karena itu, memeliharanya adalah kewajiban. Rasulullah SAW pun bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”

Para ulama klasik juga punya pandangan tegas. Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin, menegaskan bahwa perceraian bukan untuk dipermainkan. Ia hanya jadi pilihan ketika rumah tangga sudah tidak lagi membawa kemaslahatan, malah menimbulkan mudarat.

Pendapat serupa datang dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Baginya, talak ibarat obat pahit. Hanya diminum saat keadaan sangat memaksa.

Di era modern, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi menyederhanakannya: perceraian bisa jadi solusi ketika semua usaha damai telah gagal. Islam tidak memaksa seseorang bertahan dalam hubungan yang justru menghancurkan.

Di luar perspektif keagamaan, ahli psikologi keluarga Elly Risman punya sudut pandang yang relevan. “Bertahan dalam pernikahan yang penuh kekerasan bukan ibadah. Itu pembiaran terhadap kezhaliman,” katanya.

Praktisi keluarga Puspo Wardoyo juga mengingatkan, “Sekuat apapun fondasi pernikahan, ketika komunikasi mati, rumah tangga ibarat bangunan tanpa tiang.”

Pada akhirnya, Islam sangat menekankan keharmonisan. Rasulullah SAW memberi teladan sempurna dalam berumah tangga. Sabdanya, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian kepada keluargaku.” Bahkan, dalam riwayat lain disebutkan beliau tidak pernah sekalipun memukul istri atau pembantunya, dan tak segan membantu pekerjaan rumah.

Jadi, kesimpulannya jelas. Perceraian bukan jalan terbaik. Masalah seperti perbedaan gaji, budaya, atau pertengkaran kecil seharusnya tidak serta-merta berujung pada perpisahan. Dampaknya, terutama pada anak, bisa sangat panjang.

Lalu kapan cerai dibolehkan? Saat fondasi pernikahan sudah benar-benar runtuh karena perselingkuhan, kekerasan brutal, atau kemaksiatan besar yang merusak. Ketika ketentraman sudah tidak mungkin diwujudkan kembali, barulah perceraian menjadi opsi yang realistis. Seperti pesan Nabi, ia tetap halal, tapi yang paling dibenci. Wallahu a'lam bish-shawab.

Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik.


Halaman:

Komentar