Ramalan Prabowo di Papua: Sawit, Banjir, dan Warisan Bencana

- Kamis, 18 Desember 2025 | 10:50 WIB
Ramalan Prabowo di Papua: Sawit, Banjir, dan Warisan Bencana

Suaranya tegas, kalimatnya pendek, bak perintah yang sudah final. Saat berdiri di hadapan para gubernur dan bupati pertengahan Desember lalu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan arahan yang terdengar seperti keputusan mutlak. “Daerah Papua harus ditanam kelapa sawit untuk BBM, tebu dan singkong untuk etanol,” ucapnya.

Bagi banyak yang mendengar, kalimat itu bukan sekadar instruksi. Rasanya lebih mirip ramalan buruk. Atau bahkan, cetak biru sebuah bencana yang sedang disusun.

Jauh dari keramaian istana, Asep Komarudin dari Greenpeace Indonesia duduk di depan komputernya. Di layar, peta digital Papua dipenuhi titik-titik merah yang menyebar bagai luka. “Untuk memenuhi ambisi itu, jutaan hutan alam Papua harus hilang,” katanya, dengan nada datar namun penuh keyakinan. Data yang ia rujuk dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat cukup mencengangkan: 94 konsesi sawit telah menguasai lebih dari 1,3 juta hektar tanah Papua. Yang ironis, menurut laporan tersebut, perkebunan-perkebunan itu hanya dikuasai segelintir korporasi yang dekat dengan penguasa.

Ramalan itu ternyata bukan wacana kosong. Di ujung selatan Papua, tepatnya di Kabupaten Merauke, prediksi itu sudah menjadi kenyataan pahit yang berjalan hampir dua tahun. Di distrik-distrik seperti Jagebob, Tanah Miring, Muting, dan Eligobel, air yang datang bukan lagi berkah, melainkan kutukan. Banjir rutin menenggelamkan lahan pertanian dan rumah-rumah warga. Mereka yang diwawancarai tim advokasi punya tudingan jelas: penyebabnya adalah penggundulan hutan di hulu sungai untuk perkebunan tebu dan sawit.

“Masyarakat adat diposisikan sebagai penghalang pembangunan atau penerima ‘kompensasi’, bukan pemilik sah tanah dan hutan,” ujar Tigor Hutapea dari Pusaka Bentala Rakyat.

Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), lanjutnya, sering cuma formalitas belaka. Dilakukan tanpa informasi yang utuh, dalam relasi kuasa yang sudah timpang dari awal.

Sementara itu, di layar komputer Asep, angka-angka dari Sumatera berkedip-kedip. Data BNPB hingga 16 Desember 2025 mencatat bencana ekologis yang mengerikan: 1.030 nyawa melayang, 205 orang hilang, lebih dari 7.000 terluka, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 68,8 triliun. Semua ini akibat deforestasi masif untuk sawit dan industri ekstraktif lainnya. “Presiden Prabowo tidak belajar dari bencana Sumatera,” katanya dengan nada prihatin.


Halaman:

Komentar