Jadi, siapa pelaku utamanya? Perusahaan besar dan konglomerat agribisnis yang memegang izin di era puncak deforestasi. Mereka harus bertanggung jawab. Ini bukan cuma soal hujan. Ini soal kapitalisme ekstraktif yang mengorbankan ekosistem demi mengisi pundi-pundi oligarki.
Arena Perebutan Pengaruh Global
Ekspansi kelapa sawit adalah pendorong utama deforestasi selama 20 tahun ini. Yang mengkhawatirkan, Sumatera mengalami peningkatan deforestasi akibat sawit sebanyak 3,7 kali lipat pada 2022 dibanding 2020.
Memang, sektor sawit ini tulang punggung. Kontribusinya 4,5% terhadap PDB dan menyerap tenaga kerja lebih dari 16,2 juta orang. Indonesia adalah eksportir minyak sawit terbesar dunia, kuasai 54% pasar global.
Di sisi lain, peta permintaan global bergeser. Cina kini melampaui Uni Eropa dan India, menjadi importir terbesar sawit Indonesia. Pangsa pasar mereka naik dari 11% (2013) jadi 14% (2022). Kalau digabung, Cina dan India menyerap 75% dari ekspor sawit Indonesia yang terkait dengan deforestasi.
Konsumsi dalam negeri juga melonjak, dari 32% produksi pada 2018 menjadi 44% di 2022 separuhnya lebih untuk biodiesel. Di sini ironinya makin kental: Eropa menuntut Indonesia lindungi "paru-paru dunia", sementara bank-bank mereka membiayai deforestasi yang memicu bencana. Kolonialisme iklim berbalut retorika hijau.
Negara-negara utara maunya gimana? Mereka ingin Indonesia lestarikan hutan untuk kredit karbon, tapi di saat bersamaan tetap rajin mengimpor sawit, kayu, dan mineral hasil perusakan hutan. Indonesia disuruh korbankan pembangunan ekonominya demi tujuan iklim global, tapi tak dapat dukungan memadai untuk beralih dari industri ekstraktif.
Respons internasional pun berdatangan. PBB, WHO, Amnesty International, hingga negara-negara seperti Iran, Pakistan, dan UEA menawarkan bantuan. Namun, respons pemerintah yang disampaikan Menkretneg Prasetyo Hadi terasa lebih seperti formalitas. Hangat-hangat tahi ayam.
Penolakan Indonesia untuk menetapkan status darurat nasional hanya masuk akal jika dilihat dari kacamata ekonomi politik. Sebab, deklarasi darurat akan membuka pintu bagi pengawasan internasional yang lebih ketat terhadap industri-industri yang selama ini mendongkrak pertumbuhan.
Dari kacamata saya sebagai seorang sosialis demokrat, bencana ini membongkar kontradiksi mendasar model pembangunan kita. Kita tak bisa lagi membangun kapitalisasi dengan cara melikuidasi fondasi ekologis.
Kita tak bisa menanam kembali pohon sementara izin penebangan masih berlaku. Kita mustahil memulihkan daerah aliran sungai jika konsesi tambang terus merangsek ke hulu. Yang kita butuhkan sekarang adalah transformasi struktural, penegakan keadilan ekologis, dan aliansi solidaritas internasional yang nyata.
Ketua Angkatan Muda Sosialis Indonesia (AMSI)
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam