Banjir Sumatera 2025: Saat Hutan Dibabat, Rakyat Dibayangi Air Bah

- Kamis, 11 Desember 2025 | 07:50 WIB
Banjir Sumatera 2025: Saat Hutan Dibabat, Rakyat Dibayangi Air Bah

Oleh: Bobby Ciputra

Ribuan orang tenggelam di Sumatera. Tragedi itu bukan hanya duka bagi Indonesia. Ini adalah alarm yang berdering keras untuk Manila, Dhaka, Lagos untuk seluruh Global South. Di sana, kapitalisme ekstraktif telah mengubah lanskap hidup menjadi zona pengorbanan.

Angkanya sungguh mencengangkan. Hingga 5 Desember 2025, BNPB mencatat korban jiwa mencapai 867 orang. Lebih dari lima ratus lainnya masih hilang, entah di mana. Yang mengungsi? Jumlahnya luar biasa: 835.000 lebih. Bayangkan, hampir setara dengan seluruh penduduk Bhutan. Mereka bukan sekadar angka di laporan. Mereka adalah keluarga yang porak-poranda.

Infrastrukturnya hancur total. Coba bayangkan: 405 jembatan putus, 270 puskesmas dan rumah sakit rusak, 509 sekolah terendam. Ini bukan sekadar statistik bencana biasa. Ini lebih mirip pembantaian terhadap daya hidup oleh sebuah sistem yang, jujur saja, lebih menghargai kayu, sawit, dan batu bara ketimbang nyawa manusia.

Aceh menanggung beban paling berat. 349 meninggal, 175 hilang. Sumut menyusul: 321 jiwa melayang, 134 belum ditemukan. Sumbar pun hancur lebur dengan 227 korban dan 213 orang yang lenyap. Di Aceh saja, lebih dari 2,2 juta orang di 3.310 desa merasakan dampaknya. Air mungkin surut, tapi yang tertinggal adalah lumpur tebal dan masa depan yang terkubur.

Semua ini bukan kebetulan. Ini puncak gunung es dari kegagalan puluhan tahun. Hutan yang dulu menyerap hujan, kini gundul. Sungai yang dulu tenang, kini meluap bagai tsunami. Bencana ini punya ibu: model ekonomi ekstraktif yang selama dua dekade menjual hutan sebagai komoditas.

Pemerintah menyebut "Siklon Tropis Senyar" sebagai biang keladi, sebuah bencana alam di luar kendali. Tapi data dan sejarah bicara lain. Akar masalahnya adalah perusakan sistematis: tutupan hutan yang dibabat, alih fungsi lahan besar-besaran, dan izin-izin korporasi yang dilegalkan negara. Rakyat kecil di hilir yang akhirnya membayar mahal untuk pertumbuhan ekonomi dan ekspor komoditas.

Jadi, banjir besar Desember 2025 di Sumatera ini lebih dari sekadar musibah hidrometeorologi. Ini adalah bencana ekologis terbesar se-Asia Tenggara tahun ini. Sebuah titik balik kritis yang memaksa kita memandang wajah buruk tata kelola lingkungan, ketimpangan struktural, dan kontradiksi geopolitik Indonesia terlepas dari segala citra mentereng sebagai penjaga hutan tropis dunia.

Grafik Kehancuran yang Tak Pernah Diam

Bencana banjir "buatan manusia" ini dipicu oleh satu hal: deforestasi massal. Selama 20 tahun terakhir, grafik kehilangan hutan di Sumatera menunjukkan pola yang konsisten dan mengerikan. Ratusan ribu hektar hutan primer setiap tahunnya berubah jadi konsesi sawit, tambang, dan pulp.

Ambil contoh tahun 2012. Sumatera kehilangan lebih dari 413.200 hektar hutan dalam setahun. Lalu 2015, 335.100 hektar lenyap. Itu setara dengan 4.700 lapangan sepak bola yang hilang setiap harinya. Sejak itu, rata-rata lebih dari 200.000 hektar terus menguap tiap tahun.

Sekarang, ada 1.907 Izin Usaha Pertambangan aktif beroperasi di seantero Sumatera. Hutan seluas 2,45 juta hektar yang mestinya jadi spons raksasa penyerap air kini jadi lahan tandus milik perusahaan. Menurut Global Forest Watch, Aceh, Sumut, dan Sumbar telah kehilangan 7.569 mil persegi hutan sejak 2000. Luasannya lebih besar dari negara bagian New Jersey di AS.

Seperti diingatkan para ahli, hutan hujan berfungsi seperti spons. Begitu dia hilang, tak ada lagi yang memperlambat laju hujan deras. Maka, ketika hujan lebat mengguyur akhir 2025, air langsung meluncur deras, membawa lumpur dan sisa-sisa tebangan, menghantam permukiman warga miskin di hilir.


Halaman:

Komentar