Dari Blandin Kakayo ke Mabes Polri: Perjuangan Vincen Kwipalo untuk Tanah Leluhur

- Rabu, 10 Desember 2025 | 17:50 WIB
Dari Blandin Kakayo ke Mabes Polri: Perjuangan Vincen Kwipalo untuk Tanah Leluhur

Di balik nama perusahaan dan angka hektaran, berserakan kisah-kisah manusia. Tentang sagu yang hilang, rawa yang dikeringkan, mata air yang tercemar. Juga tentang kedaulatan yang dipersempit jadi sekadar kompensasi tak sebanding. Bagi Vincen dan Solidaritas Merauke yang mendukungnya, ini lebih dari sengketa tanah. Ini soal martabat. Hak untuk hidup sebagai manusia merdeka di tanah sendiri. Keadilan lingkungan yang menjadi tulang punggung HAM.

Perjuangannya adalah potret kontras di hari peringatan HAM sedunia. Sementara pidato-pidato tentang kemajuan HAM berkumandang di mana-mana, di Merauke, seorang anak suku harus berjuang mati-matian demi hak paling dasarnya: hak atas tanah, atas lingkungan, hak untuk diakui eksistensinya.

Bukan Tanah Kosong

Tagar PapuaBukanTanahKosong yang ramai di media sosial bukan cuma slogan. Itu teriakan melawan narasi yang mereduksi. Bagi proyek PSN, Merauke adalah hamparan angka dan potensi devisa. Bagi Vincen Kwipalo dan marganya, itu adalah Blandin Kakayo rumah yang bernyawa, penuh sejarah dan kehidupan.

Perlawanan Vincen terhadap PT Murni Nusantara Mandiri adalah perlawanan mikro yang bermakna makro. Ia menguji komitmen negara di antara dua desakan: investasi dan swasembada pangan-energi di satu sisi, dan mandat konstitusi untuk menghormati hak masyarakat adat serta kelestarian lingkungan di sisi lain.

Dukungan Solidaritas Merauke dan surat dari Komnas HAM adalah cahaya kecil di terowongan gelap. Setidaknya, mereka menunjukkan bahwa perlawanan ini tercatat, dilihat, dan sah secara moral.

Jadi, di Hari HAM ini, dunia diingatkan. Di ujung timur Indonesia, di antara hamparan tebu yang menghijau, ada seorang pembela HAM lingkungan. Ia tak membawa senjata, cuma berkas-berkas dan keyakinan bahwa tanah adatnya bukan komoditas. Perjalanannya dari Distrik Jagebob ke Mabes Polri adalah epik modern tentang keberanian menghadapi mesin besar, tentang keteguhan mempertahankan rumah. Sebuah harapan bahwa keadilan, suatu saat nanti, tak cuma jadi peringatan di atas kertas, tapi hidup dan bernapas di atas tanah sendiri.


Halaman:

Komentar