Lalu, Mengapa Kita Tertinggal?
Pertanyaan besarnya: kenapa Indonesia sulit sekali mengejar? Padahal, kampanye literasi ada, perpustakaan nasional ada, gerakan komunitas juga banyak. Beberapa hal ini mungkin jadi penyebabnya.
Pertama, keluarga di rumah seringkali tidak memberikan contoh. Riset Perpusnas menunjukkan mayoritas orang tua tidak pernah membacakan buku untuk anaknya. Anak pun tak punya teladan.
Kedua, sekolah terlalu fokus pada kurikulum ketimbang membangun kebiasaan. Membaca sering dilihat sebagai proyek, bukan sebagai bagian dari hidup.
Ketiga, akses terhadap buku berkualitas masih sangat timpang. Daerah terpencil sulit mendapatkan buku layak karena distribusi yang buruk dan biaya mahal.
Keempat, perpustakaan yang ada sering tak terawat dan tidak nyaman. Banyak perpustakaan sekolah cuma jadi bilik usang berdebu.
Kelima, gawai mengambil alih tanpa pendampingan. Orang tua memberi anak HP, tapi tidak membimbing apa yang harus dibaca di dalamnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Butuh pendekatan berlapis, bukan sekadar kampanye sesaat.
Pertama, buku harus mudah didapat. Butuh kebijakan nyata: distribusi buku murah ke daerah terpencil, perpustakaan desa yang didanai APBD, perpustakaan digital dengan kuota gratis, dan kemitraan dengan penerbit untuk e-book murah. Ini soal prioritas, bukan cuma anggaran.
Kedua, biasakan membaca di sekolah. Bisa dimulai dengan 15 menit membaca hening setiap hari, book day, pojok baca di tiap kelas, atau kompetisi review buku. Guru juga perlu dilatih membacakan cerita dengan baik.
Ketiga, ubah gawai jadi mesin literasi. Karena mustahil melawan smartphone, kita harus memanfaatkannya. Aplikasi buku anak gratis, cerita audio, platform resensi untuk remaja, atau tantangan membaca via media sosial bisa jadi solusi. Asal isinya tepat, membaca lewat HP bukan masalah.
Keempat, hidupkan perpustakaan. Transformasi ruang perpustakaan jadi ruang kreatif dengan kegiatan menggambar, menulis, dan diskusi bisa menarik minat anak. Jam operasional yang fleksibel dan lokasi yang nyaman juga penting.
Kelima, dukung komunitas literasi. Gerakan seperti Taman Baca Masyarakat dan Rumah Baca sudah bekerja keras di akar rumput. Mereka butuh dukungan buku, dana operasional, pelatihan, dan pengakuan sebagai mitra resmi.
Pada akhirnya, membaca sekarang bukan lagi sekadar hobi. Ia adalah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap ketidaktahuan, banjir hoaks, dan budaya serba instan.
Di masa depan, negara yang kuat bukan yang paling besar, tapi yang warganya paling mampu berpikir kritis. Dan kemampuan itu hanya bisa dibangun dengan membaca.
Memang, perjalanan untuk membenahi semua ini tidak akan singkat. Tapi jika pemimpin, guru, dan masyarakat bergerak bersama, mimpi menjadikan Indonesia sebagai bangsa pembaca bukanlah hal yang mustahil. Wallahu alimun hakim.
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik.
Artikel Terkait
Integritas Pemimpin: Kunci Kepercayaan Publik dan Masa Depan Bangsa
Kolong Tol Becakayu Disulap, Tiga Kecamatan Bahu-Membahu
Di Balik Lumpur, Warga Aceh Tamiang Bertahan dengan Uluran Tangan di Pinggir Jalan
Kemenko PM Puncaki Peringkat Integritas KPK, Cak Imin: Fondasi Pemberdayaan