Angka-angka tentang minat baca di Indonesia memang kerap bikin kita menghela napas. Coba lihat survei World’s Most Literate Nations beberapa tahun lalu. Hasilnya? Indonesia duduk di peringkat 60 dari 61 negara. Posisi puncak, seperti yang kerap kita dengar, diisi oleh negara-negara Skandinavia macam Finlandia dan Norwegia. Ini bukan cuma soal peringkat, tapi gambaran nyata tentang betapa jauhnya kita tertinggal.
UNESCO punya catatan serupa. Mereka memasukkan Indonesia dalam kategori “low engagement reading country”. Artinya, keterlibatan kita dalam aktivitas membaca sangat minim. Survei nasional pun mengonfirmasi hal ini: rata-rata orang Indonesia hanya menyisihkan 15 sampai 20 menit per hari untuk membaca. Bandingkan dengan negara maju, angka itu terasa sangat jomplang.
Lalu, bagaimana dengan kemampuan anak-anak kita? Survei PISA 2022, yang mengukur kemampuan membaca siswa berusia 15 tahun, menempatkan Indonesia di peringkat 71 dari 81 negara. Skornya cuma 371, sementara rata-rata negara OECD berada di angka 476. Sebagai perbandingan, Singapura meraih skor 543, Jepang dan Kanada di angka 516. Bahkan, tetangga kita seperti Malaysia (388) dan Thailand (372) sedikit lebih unggul. Filipina ada di bawah kita dengan 347.
Yang menarik, ada juga data tentang durasi membaca harian. Orang Jepang bisa menghabiskan 1-2 jam per hari untuk membaca. Jerman sekitar satu jam, Korea Selatan 45-60 menit, dan Amerika Serikat 25 menit. Sementara kita? Kembali ke angka yang sama: 15-20 menit per hari, berdasarkan beragam survei dari Kemdikbud, BPS, dan lembaga non-pemerintah.
Rendahnya budaya baca ini juga tercermin dari kepemilikan buku. Di Jepang, setiap orang rata-rata memiliki 20-30 buku per tahun. Korea sekitar 10-12 buku, dan Eropa Barat 15-20 buku. Di Indonesia? Datanya mencengangkan: hanya 0,001 buku per orang per tahun, menurut catatan Ikapi beberapa waktu lalu.
“Indonesia harus berpindah dari literasi sebagai kemampuan dasar ke literasi sebagai budaya,” kata Darmaningtyas, seorang pemerhati pendidikan, dalam sebuah diskusi di Yogyakarta.
“Tanpa perubahan budaya, indeks hanya jadi angka kosmetik.”
Namun begitu, ada fakta lain yang mungkin justru menentukan masa depan: 83% masyarakat kita kini lebih sering membaca melalui smartphone. Hanya 12% yang masih setia dengan buku cetak. Di satu sisi, ini bisa jadi peluang. Tapi masalahnya bukan pada perangkatnya, melainkan pada apa yang dibaca. Survei We Are Social menunjukkan, pengguna internet Indonesia menghabiskan lebih dari tiga jam per hari untuk media sosial. Durasi itu tiga kali lipat lebih lama dari waktu membaca buku dalam sebulan bagi sebagian orang.
Konten cepat di media sosial jelas mengubah ritme berpikir. Semuanya serba instan, mendorong otak mencari stimulasi kilat, bukan kedalaman. Tak heran jika anak-anak SD sekarang hafal ratusan suara viral di TikTok, tapi kesulitan mengingat satu paragraf dari buku cerita yang mereka bawa.
“Gawai itu netral. Yang tidak netral adalah apa yang kita konsumsi,” ujar Najelaa Shihab, pendiri Gerakan Semua Murid Semua Guru.
“Masalahnya, algoritma media sosial tidak pernah mendorong kita untuk membaca; ia mendorong kita untuk menonton.”
Di titik ini, buku dan media sosial bukan sekadar dua aktivitas berbeda. Mereka mewakili dua budaya yang bertolak belakang. Satu menuntut kesabaran, konsentrasi, dan perenungan. Satu lagi menawarkan hiburan cepat, reaksi spontan, dan mudah terlupakan.
Belajar dari Mereka yang Sudah Lebih Dulu
Mungkin kita perlu menengok ke negara lain untuk melihat bagaimana budaya baca dibangun. Di Finlandia, misalnya, literasi dimulai sejak bayi. Setiap bayi yang lahir mendapat ‘kotak bayi’ berisi selimut, pakaian, dan sebuah buku cerita.
“Ini simbol bahwa literasi dimulai di rumah, bukan di sekolah,” kata seorang pejabat pendidikan Finlandia di Helsinki.
Perpustakaannya pun bukan sekadar gudang buku, tapi jadi pusat kegiatan komunitas.
Swedia dan Belanda punya pendekatan serupa. Di Swedia, anak-anak prasekolah dikenalkan pada ‘reading hour’ membaca bersama guru dua kali seminggu. Di Belanda, orang tua diundang ke sekolah untuk ikut sesi membaca, menjadikannya aktivitas keluarga.
Sementara Jepang punya disiplin ‘silent reading’. Setiap hari, 10–15 menit pertama di sekolah digunakan hanya untuk membaca, tanpa tugas atau tes. Ketenangan ini melatih anak menikmati fokus dan keheningan.
Artikel Terkait
Jokowi Buka Suara: Siapa Tuduh, Siapa Buktikan
Tragedi Kebakaran Terra Drone: Di Balik Asap, Ada Data Raksasa Perkebunan Sawit
Zulfa Mustofa Pikul Dua Tugas Berat sebagai Penjabat Ketum PBNU
Natal Bersama di Kemenag: Langkah Kontroversial Nasaruddin Umar yang Kembali Picu Sorotan