CIBEST: Saat Zakat Tak Lagi Hanya Diukur dari Angka, Tapi Juga dari Hati

- Senin, 08 Desember 2025 | 17:25 WIB
CIBEST: Saat Zakat Tak Lagi Hanya Diukur dari Angka, Tapi Juga dari Hati

Bogor Dunia pengelolaan zakat di Indonesia belakangan ini tak cuma soal inovasi cara mengumpulkan dan menyalurkannya. Ada hal lain yang mulai banyak dibicarakan: bagaimana mengukur dampaknya secara lebih menyeluruh. Nah, di tengah kebutuhan itu, muncullah sebuah model pengukuran bernama CIBEST.

CIBEST, atau Center for Islamic Business and Economic Studies, adalah buah pemikiran Irfan Syauqi Beik dan Laily Dwi Arsyianti dari IPB. Intinya, model ini berangkat dari prinsip ekonomi Islam. Ia hadir untuk menjawab kegelisahan yang selama ini kerap terabaikan: apakah zakat cuma menambah penghasilan, atau juga memperkuat sisi kerohanian penerimanya?

Selama ini, ukuran sukses lembaga zakat seringkali berkutat pada angka. Berapa besar dana yang berhasil dihimpun, berapa banyak mustahik yang kebagian. Tapi, pertanyaan besarnya tetap menggantung. Benarkah kemiskinan berkurang secara optimal? Apakah hidup mustahik jadi lebih baik, bukan hanya di dompet tapi juga di hati? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang coba dijawab CIBEST.

Model ini dibangun dengan kerangka maqashid syariah, memadukan aspek material dan spiritual dalam satu sistem terstruktur. Sejak diperkenalkan sekitar 2014-2016, CIBEST pelan-pelan mengubah cara pandang banyak pihak.

Secara teknis, CIBEST memetakan kondisi rumah tangga ke dalam empat kuadran. Pembagiannya berdasarkan dua garis batas: garis kemiskinan material dan spiritual. Kuadran I adalah keluarga sejahtera, yang sudah memenuhi kedua aspek. Kuadran II untuk mereka yang miskin secara ekonomi tapi kuat spiritualitasnya. Kebalikannya, Kuadran III menampung keluarga yang secara finansial cukup namun lemah secara spiritual. Sementara Kuadran IV adalah kemiskinan absolut, dimana kedua aspek itu sama-sama berada di bawah garis.

Dari pemetaan ini, bisa dihitung empat indeks: indeks kesejahteraan, kemiskinan material, kemiskinan spiritual, dan kemiskinan absolut. Hasilnya memberi gambaran yang jauh lebih utuh.

Pengaruh CIBEST pun merambah. Ketika BAZNAS meluncurkan Indeks Zakat Nasional (IZN), model ini diadopsi sebagai bagian dari pengukuran dampak. Berbagai riset BAZNAS, seperti Indeks Kesejahteraan BAZNAS, menggunakan CIBEST untuk memotret perubahan ribuan rumah tangga mustahik. Hasilnya menunjukkan tren positif: peningkatan proporsi keluarga di kuadran sejahtera dan penurunan di kuadran kemiskinan. Artinya, ada bukti empiris bahwa zakat produktif memang bekerja.

Menariknya, aplikasi CIBEST tak berhenti di zakat. Model ini juga diadopsi dalam pengembangan Indeks Wakaf Nasional (IWN) oleh Badan Wakaf Indonesia sekitar 2020-2021. Dalam sepuluh tahun terakhir, CIBEST paling banyak dipakai untuk mengevaluasi program zakat produktif di sektor usaha mikro, seperti pembiayaan modal, pendampingan, atau pelatihan. Di sisi wakaf, meski belum sedominan zakat, model ini mulai dipakai untuk mengukur dampak pengelolaan aset wakaf produktif, seperti sekolah, klinik, atau program pemberdayaan.


Halaman:

Komentar