Lalu, bagaimana dengan kita? Jelas, respons di Indonesia masih jauh dari memadai. Alat berat minim di fase kritis. Bantuan datang tidak merata. Pusat komando di lapangan nyaris tak terlihat. Kesenjangan antara narasi dan realita di lapangan terasa begitu lebar.
Masalahnya memang struktural. Kapasitas BPBD di daerah masih lemah. Sistem tanggap darurat yang terintegrasi nyaris tak ada. Padahal, cuaca ekstrem akibat perubahan iklim makin sering terjadi. BMKG sendiri mengakui, Indonesia belum siap menghadapi ancaman siklon tropis fenomena yang kini jadi realitas baru di Asia Tenggara.
Jadi, pernyataan tentang reaksi cepat pemerintah itu perlu dilihat secara proporsional. Niat mungkin ada. Tapi niat saja tidak cukup. Kesiapsiagaan bukan sekadar retorika. Ia adalah kemampuan teknis yang dibangun lewat investasi serius, prosedur standar, dan komitmen kelembagaan yang kuat.
Kalau ingin memutus siklus bencana yang selalu lebih mematikan, langkah serius harus diambil. Perkuat BPBD. Integrasikan sistem peringatan dini. Percepat mobilisasi logistik. Dan yang tak kalah penting, sesuaikan diri dengan standar kemanusiaan global yang sudah terbukti efektif.
Rakyat sebenarnya tidak menuntut kesempurnaan. Mereka cuma butuh pemerintah yang hadir lebih cepat. Lebih cepat dari berita yang tersiar, lebih cepat dari konferensi pers, dan terutama, lebih cepat dari air bah serta tanah longsor yang mengancam nyawa mereka.
Hanya dengan begitu, klaim "reaksi cepat pemerintah" benar-benar bisa dirasakan. Bukan sekadar jadi kata-kata di udara.
Artikel Terkait
Pedro Pascal: Dari Puncak Box Office ke Suara Lantang untuk Palestina
Kontroversi LISA UGM: Asisten Virtual yang Terlalu Jujur dan Nasibnya yang Terkatung
Mahasiswa ITS Sulap Jelantah Jadi Lilin Aromaterapi Bersama Murid SD
Dari Jari ke Parlemen: Kisah Doktor yang Menguak Politik Digital Gen Z