Tanggung Jawab atau Kursi? Pilihan Berat Pejabat di Tengah Duka Sumatra

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 15:50 WIB
Tanggung Jawab atau Kursi? Pilihan Berat Pejabat di Tengah Duka Sumatra

Ia akan menyampaikan duka mendalam untuk korban. Kata-katanya dipilih hati-hati, penuh empati, bukan sekadar formalitas. Ia akan bicara tentang keluarga yang kehilangan, tentang relawan yang tak kenal lelah. Ia akan mengakui bahwa bencana ini adalah pukulan bagi bangsa, dan pukulan terberat baginya adalah menyadari sistem yang ia pimpin ternyata belum cukup baik.

Lalu, ia akan menuliskan kejujuran yang mengganggu tidurnya: bahwa ia bukan lagi orang yang tepat untuk memimpin pemulihan. Bukan karena tak peduli, tapi karena mungkin dibutuhkan wajah baru dengan perspektif berbeda. Ia tak ingin jadi penghalang perubahan hanya karena gengsi.

Tentu, keputusan ini tak akan mudah. Akan ada spekulasi, kritik pedas. Ada yang bilang ia lari dari masalah, ada yang anggap itu drama, ada yang baca sebagai langkah politik culas. Tapi baginya, semua omongan itu tak sebanding dengan luka setiap kali membaca laporan korban baru.

Dalam suratnya, ia akan menegaskan bahwa mundur bukan akhir pengabdian. Ia berjanji akan tetap membantu pemulihan, memberi masukan, dan hadir di tengah masyarakat sebagai warga biasa yang peduli. Pengabdian, baginya, tak berhenti di pintu kantor menteri.

Surat itu mungkin akan dibacanya berulang kali. Lalu, dengan tangan sedikit bergetar bukan karena ragu, tapi karena lega ia akan membubuhkan tanda tangan. Beban yang menggunung itu perlahan luruh.

Berjalan menyusuri lorong panjang untuk menyerahkan surat itu, setiap langkahnya terasa berbeda. Lebih pelan, tapi lebih mantap. Ia mungkin akan dikenang bukan karena jabatannya, tapi karena keputusan berani yang diambil hari ini. Bukan kekalahan, tapi keberanian moral.

Di depan pintu, ia mungkin berhenti sejenak, menarik napas, dan tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya sejak bencana terjadi, ia yakin ini hal yang benar. Ia menutup mata, lalu membukanya dengan ketegasan baru.

Keputusan telah diambil. Di tengah duka bangsa, ia berharap langkah kecil ini bisa jadi awal pemulihan yang lebih besar. Karena kadang, untuk membangun sesuatu kembali, kita harus berani melepaskan apa yang selama ini kita genggam terlalu erat.

Tapi semua itu hanya bayangan. Kenyataannya? Sampai detik ini belum ada satu pun yang mundur. Bukan karena mereka ingin berdamai dengan hati nurani, tapi sepertinya, rasa malu pun sudah tak ada. Mereka masih tetap bisa berkutat di kursinya, sambil sesekali koar-koar.

AM234


Halaman:

Komentar