Namun begitu, bayangkan jika ada yang memilih jalan lain. Setelah melihat langsung penderitaan korban, mendengar tangis anak-anak yang kehilangan rumah, hati nurani mana yang tak tergugah? Beban moral itu bisa lebih berat dari beban politik manapun.
Dengan hati berat, mungkin dia mulai menulis surat pengunduran diri. Bukan surat panjang berisi pembelaan. Tapi pengakuan jujur bahwa dibutuhkan tenaga dan perspektif baru untuk pemulihan. Dia menulis dengan kata-kata penuh empati, menyatakan duka, lalu menyatakan kesediaan mundur bukan sebagai pelarian, tapi sebagai bentuk tanggung jawab tertinggi.
Keputusan seperti itu tentu akan menuai beragam reaksi. Ada yang akan mencapnya lari dari masalah, ada yang bilang itu dramatis, tak sedikit pula yang akan membaca motif politik di baliknya. Tapi bagi orang yang sudah berdamai dengan hati nuraninya, kritik dari luar mungkin tak lagi seberat luka batin karena membiarkan rakyatnya menderita.
Sayangnya, narasi indah tentang pengunduran diri elegan itu masih sekadar bayangan. Realitanya, belum ada tanda-tanda. Justru yang terjadi sebaliknya. Mereka masih bertahan, bahkan terkadang masih bersuara lantang.
Dan sampai detik ini, belum ada satu pun dari ketiga menteri yang disebut itu yang menunjukkan tanda-tanda akan mundur. Bencana telah terjadi, korban berjatuhan, tapi kursi menteri tetap hangat diduduki. Sepertinya, untuk mengharapkan sebuah pengunduran diri yang penuh martabat dan kesadaran penuh, kita masih harus menunggu sangat lama. Atau mungkin, memang mustahil.
AM234
Artikel Terkait
Rp 10 Miliar Terkumpul, Tapi Bantuan Tak Juga Sampai ke Korban Banjir Aceh
Korban Banjir Tiga Provinsi Tembus 914 Jiwa, 389 Masih Hilang
Panettone: Kisah Legit di Balik Tradisi Natal Italia
Rektor Asia Tenggara Berdebat: Bisakah Kampus Bertahan Saat AI Gantikan Proses Berpikir?