Mundur dengan Elegan? Mustahil Rasanya...
Suara kritik makin keras menyusul bencana di Sumatra. Longsor dan banjir bandang yang merenggut banyak korban ini memunculkan pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab? Greenpeace, lewat juru kampanyenya Iqbal, secara terbuka menyoroti tiga nama menteri.
“Jadi ketika ada bencana seperti ini, berarti ada fungsi mereka yang tidak bekerja. Apakah fungsi pengawasan atau pengendalian. Atau mereka melakukan pembiaran. Pembiaran dalam administrasi itu sebuah kesalahan. Pura-pura tidak tahu,” tegas Iqbal.
Ia bahkan menyatakan langkah hukum bukan hal mustahil. Kritik pedas itu menohok. Tiga menteri yang dimaksud adalah Raja Juli Antoni, Bahlil Lahadalia, dan Hanif Faisol. Masing-masing punya kewenangan terkait izin kehutanan, tambang, dan AMDAL hal-hal yang kerap disebut sebagai akar masalah bencana ekologis.
Di tengah situasi seperti ini, muncul pertanyaan yang jarang terjawab: akankah seorang pemimpin memilih mundur dengan elegan? Mengundurkan diri bukan sekadar melepas jabatan. Itu adalah pilihan berat di persimpangan antara mempertahankan kehormatan jabatan atau justru mencari kehormatan yang lebih tinggi dengan melepaskannya. Di Indonesia, langkah semacam itu amat langka. Bahkan, bisa dibilang mustahil.
Bayangkan saja. Di sebuah ruang kerja yang sunyi, seorang pejabat berdiri lama di depan jendela. Laporan bencana menumpuk di mejanya, setiap halaman seolah berteriak tentang kegagalan. Sistem, mitigasi, koordinasi semua terasa jebol. Tapi yang paling menusuk adalah bisikan dalam hati: jangan-jangan kebijakannya sendiri yang tak cukup memadai untuk mencegah semua ini. Dalam hening, dia bertanya pada diri sendiri, masih pantaskah duduk di kursi yang kini terasa begitu berat?
Memang, kultur politik kita jarang mengakomodasi pengunduran diri secara sukarela. Banyak alasan untuk bertahan. Ada yang bilang demi kelancaran administrasi, ada yang ingin menyelesaikan program, tak sedikit juga yang khawatir mundur dianggap sebagai kelemahan. Tekanan politik pun nyata.
Artikel Terkait
Rp 10 Miliar Terkumpul, Tapi Bantuan Tak Juga Sampai ke Korban Banjir Aceh
Korban Banjir Tiga Provinsi Tembus 914 Jiwa, 389 Masih Hilang
Panettone: Kisah Legit di Balik Tradisi Natal Italia
Rektor Asia Tenggara Berdebat: Bisakah Kampus Bertahan Saat AI Gantikan Proses Berpikir?