Tapi, setelah melihat langsung penderitaan korban, setelah mendengar tangis anak-anak yang kehilangan rumah, apakah alasan-alasan itu masih relevan? Rasa tanggung jawab sejati seringkali lahir dari pengalaman langsung, tekanan batin, dan kejernihan hati saat menyaksikan rakyat menderita.
Andai saja ada yang berani. Bayangkan dia mulai menulis surat pengunduran diri. Bukan surat panjang berisi pembelaan. Tapi pengakuan jujur bahwa dirinya merasa bukan lagi orang yang tepat untuk memimpin pemulihan. Di paragraf awal, dia menyampaikan duka mendalam. Kata-katanya penuh empati, bukan formalitas kosong. Dia bicara tentang keluarga yang terdampak, para relawan, dan aparat di lapangan.
Kemudian, dengan rendah hati, dia mengakui sistem yang dipimpinnya gagal melindungi rakyat. Dia merasa perlu memberi kesempatan pada tenaga baru dengan perspektif segar. Mundur bukan akhir pengabdian, tapi bentuk pengabdian lain. Dia akan tetap membantu, tapi tanpa embel-embel jabatan.
Tentu keputusan seperti ini tak akan mudah. Akan ada yang menyebutnya lari dari masalah. Ada yang bilang dia cari sensasi. Tapi, dibandingkan beban batin menyaksikan korban terus berjatuhan, kritik itu mungkin lebih ringan.
Setelah surat selesai ditandatangani, mungkin akan ada kelegaan. Langkah kaki menyusuri lorong gedung pemerintahan terasa lebih mantap. Dia mungkin akan dikenang bukan karena jabatannya, tapi karena keberanian moralnya untuk mundur tepat waktu.
Sayangnya, ini semua masih bayangan. Narasi indah dalam pikiran. Kenyataannya? Sampai detik ini belum ada tanda-tanda. Tak ada yang bergeming. Mereka semua masih bertahan, bahkan masih aktif bersuara. Seolah tak ada yang merasa perlu mempertanyakan diri sendiri.
Jadi, apakah ada menteri yang akan mundur dengan elegan? Impian itu masih jauh dari kenyataan. Untuk sekarang, yang ada hanyalah duka Sumatra dan pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.
AM234
Artikel Terkait
Helikopter Gubernur Aceh Melayang di Atas Puing Banjir Bandang Nagan Raya
Burkina Faso Berbalik Arah: Hukuman Mati Kembali, Homoseksualitas Dikriminalkan
Tere Liye Soroti Klaim Pejabat Era Zulhas: Pelepasan Hutan Itu Cuma Ganti Baju
Gempa, Banjir, Letusan: Bencana atau Cermin Kelalaian Kita?