✍🏻 Fauzan Inzaghi
Pertanyaan yang terus menggantung: status bencana nasional, mau sampai kapan, Pak Prabowo? Apa rakyat harus bilang, "Biar kami pulih sendiri saja, pemerintah tak usah repot. Kami ini bukan rakyat Indonesia, ya?"
Angkanya sungguh memilukan. Sudah 1.301 jiwa melayang. Hampir 600 orang masih hilang, entah di mana. Yang terluka hampir 5.000. Bayangkan, lebih dari 80 ribu rumah hancur. Dampaknya meluas ke 51 kabupaten dan kota di tiga provinsi. Banyak daerah terputus sama sekali, terisolasi dari bantuan.
Di lapangan, ceritanya jauh lebih pahit dari sekadar angka. Menurut sejumlah saksi, di beberapa titik, bau busuk mayat sudah tak tertahankan. Masyarakat setempat, yang juga korban, tak punya daya untuk mengurusnya.
Anak-anak terpaksa minum air banjir yang dicampur teh, supaya rasa lumpurnya tak begitu terasa. Itu pun kalau ada tehnya.
Kelaparan melanda. Situasi ini memaksa orang mengambil beras dari toko sembako yang juga kebanjiran. Beras berlumpur itu mereka cuci dulu, lalu dimasak. Pilihan lain nyaris tidak ada.
Tim SAR? Jujur saja, sangat terbatas. Baik personel maupun peralatannya. Akhirnya, yang terjadi adalah "korban membantu korban" – sebuah inisiatif putus asa dari mereka yang sama-sama terdampak.
Obat-obatan? Jangan ditanya. Keadaannya jauh lebih parah.
Kita bahkan belum bicara soal kerugian materi dan proses rekonstruksi nantinya. Yang jelas, bencana ini sudah jadi sorotan dunia. Banyak negara menawarkan bantuan. Ada kabar pemerintah menolak dengan alasan masih mampu. Benar atau tidak, kabar itu perlu dicek ulang.
Artikel Terkait
Dahnil Anzar Salurkan Bantuan Prabowo untuk Korban Banjir Aceh Tamiang
Wamen Ribka Haluk Serukan Perempuan Papua Berani Berubah di Kongres Cendekiawan
Bansos, Bencana, dan Dana Jabatan: Tiga Ujian yang Sering Gagal
Kabupaten Bandung Darurat: 15 Kecamatan Porak-Poranda Diterjang Banjir dan Longsor