Bencana Aceh-Sumatra: Saat Teologi Pembebasan Menuntut Keadilan untuk Bumi yang Terluka

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:50 WIB
Bencana Aceh-Sumatra: Saat Teologi Pembebasan Menuntut Keadilan untuk Bumi yang Terluka

Teologi Pembebasan, Keadilan Ekologis, dan Luka Bumi di Aceh–Sumatra

M. Isa Ansori

Banjir dan tanah longsor yang menghantam Aceh dan sejumlah wilayah Sumatra akhir 2025 lalu, bukanlah sekadar peristiwa alam biasa. Lebih dari itu, ia adalah pantulan nyata dari kesalahan kita semua dalam memperlakukan bumi. Sebuah pengingkaran terhadap amanah yang, dalam sudut pandang agama, sebenarnya tak terpisahkan dari keimanan itu sendiri.

Angkanya sungguh memilukan. Hingga awal Desember, data BNPB mencatat 836 orang meninggal. Masih ada 518 jiwa lainnya yang hilang, entah di mana. Bayangkan saja, lebih dari satu juta warga harus meninggalkan rumah mereka tempat yang sebagian sudah hancur, hanyut, atau terkubur. Sekitar sepuluh ribu rumah rusak, belum lagi ratusan sekolah dan fasilitas publik. Ini bukan cuma deretan statistik. Ini tentang nyawa, tentang keluarga yang tercerai-berai, tentang anak-anak yang tiba-tiba jadi yatim piatu.

Kita sering menyebutnya “musibah”. Tapi kitab suci sebenarnya sudah memberi isyarat lain jauh sebelumnya.

Kata “kerusakan” atau fasad dalam ayat itu bukanlah kiasan belaka. Itu penjelasan langsung tentang bagaimana tangan manusia bisa mengacaukan tatanan alam yang seharusnya seimbang.

Dan itulah yang terjadi di Aceh dan Sumatra sekarang. Berbagai laporan di lapangan menunjukkan akar masalahnya: kerusakan hutan yang masif, alih fungsi lahan besar-besaran, penebangan liar, plus pengawasan yang lemah. Hutan-hutan yang mestinya menyerap air dan mencegah banjir, sudah lama berubah jadi perkebunan atau area tambang. Sungai kehilangan pelindungnya. Daerah tangkapan air tak lagi sanggup menahan.

Nah, dari kacamata teologi pembebasan, bencana ekologis semacam ini bukan cuma soal alam yang rusak. Ini juga soal ketidakadilan yang terstruktur. Coba lihat, siapa yang paling banyak jadi korban? Bukan para pemegang kuasa, bukan korporasi pemilik konsesi, bukan pula pembuat kebijakan yang abai. Yang tewas dan hilang justru warga desa, masyarakat adat, petani, ibu-ibu dan anak-anak. Kelompok marginal yang tak pernah dilibatkan dalam keputusan, tapi selalu yang pertama menanggung akibatnya.

Di sinilah teologi pembebasan punya suara. Iman, menurut perspektif ini, bukan cuma urusan ritual semata. Ia harus berpihak pada yang tertindas. Dalam Islam, keadilan itu konsep yang aktif harus mewujud dalam tata kelola ruang, pengelolaan sumber daya, dan cara negara melindungi rakyatnya.

Rasulullah sendiri memberi teladan yang sangat nyata. Bahkan di medan perang, beliau melarang penebangan pohon tanpa alasan yang jelas. Beliau menetapkan hima, kawasan lindung yang tak boleh dieksploitasi sembarangan. Pesannya jelas: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Di konteks sekarang, manfaat itu bukan cuma bantuan setelah bencana datang. Tapi lebih pada keberanian mengoreksi struktur yang merusak alam dan menindas kelompok rentan.


Halaman:

Komentar