Jadi, melihat Aceh dan Sumatra hari ini, teologi pembebasan memaksa kita bertanya ulang. Kebijakan ekologis seperti apa sih yang kita bangun selama ini? Kenapa izin konsesi begitu gampang dikeluarkan, sementara kajian lingkungan hidup cuma jadi pelengkap? Kenapa tata ruang lebih sering jadi alat tawar politik, bukan alat pelindung kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit, tapi langkah konkritnya sebenarnya bisa jelas.
Pertama, pemulihan ekologis harus jadi agenda utama, bukan sekadar proyek penghijauan yang sifatnya seremonial belaka. Kawasan hulu yang rusak parah butuh restorasi serius, dengan pendekatan ilmiah dan melibatkan masyarakat setempat.
Kedua, evaluasi menyeluruh terhadap izin konsesi yang sudah terlanjur diberikan. Percuma saja membangun posko darurat kalau akar penyebab bencananya dibiarkan terus tumbuh.
Ketiga, penegakan hukum lingkungan jangan lagi jadi formalitas. Investigasi terhadap kayu hanyut atau penebangan ilegal harus berani menyentuh pelaku utamanya, bukan cuma orang-orang kecil di lapangan.
Keempat, libatkan komunitas lokal sebagai subjek, bukan sekadar objek bantuan. Masyarakat adat dan warga desa yang selama ini jadi korban, justru punya kearifan ekologis yang sudah teruji lama.
Pada akhirnya, bencana di Aceh dan Sumatra ini adalah cermin yang memaksa kita untuk introspeksi lebih dalam. Sudahkah kita menjalankan peran sebagai khalifah di bumi dengan baik? Atau jangan-jangan, kita justru sibuk membangun dengan mengorbankan masa depan anak cucu?
Teologi pembebasan mengajarkan satu hal: pembebasan manusia tak bisa dipisahkan dari pembebasan alam. Ketika bumi terluka, manusia pun ikut terluka. Sebaliknya, jika alam dipulihkan, manusia punya kesempatan untuk bangkit kembali.
Mungkin, dari tragedi yang merenggut ratusan nyawa dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal ini, kita masih bisa memulai dari awal. Dengan satu prinsip sederhana: menjaga bumi sama artinya dengan menjaga kehidupan. Dan itu adalah kewajiban moral tertinggi yang diwariskan oleh agama mana pun.
Bali, 6 Desember 2025
Tentang Penulis:
M. Isa Ansori adalah seorang kolumnis dan akademisi. Saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua ICMI Jawa Timur dan anggota Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya.
Artikel Terkait
Hari Kedua Banjir, Tiga Kecamatan di Bandung Masih Terendam
Warga Batu Ampar Terjebak Rob, Jalan Penghubung Lumpuh Lagi
Dahnil Anzar Salurkan Bantuan Prabowo untuk Korban Banjir Aceh Tamiang
Menteri Kehutanan Tegas: Posisi Saya Ada di Tangan Presiden