Saya lalu shalat dua rakaat, seolah-olah itu ibadah terakhir sebelum kami semua dihanyutkan air. Di atap, teriakan "tolong… tolong…" tak henti-hentinya. Tak ada yang bisa tidur. Suasana sungguh tidak menentu.
Dan kemudian, sepertinya Allah mengijabah doa kami.
Dari semalam sampai subuh, air berhenti naik. Hati kami sedikit lega. Tapi tantangan baru muncul: persediaan makanan dan air minum menipis. Beberapa bayi menangis kelaparan. Ada warga yang terpaksa menimba air banjir lalu memasaknya untuk diminum. Kami lebih beruntung, bisa memasak air hujan yang tertampung di terpal.
Lalu, hal yang tak terduga terjadi. Orang-orang di atap mulai melempar makanan dan tali ke rumah kami untuk kami teruskan ke rumah lain. Yang paling mengejutkan, yang aktif mengumpulkan dan melempar bantuan itu adalah para narapidana tadi orang-orang yang sempat ditolak hampir semua warga.
Mereka, pada hari itu, lebih layak disebut pahlawan. Lebih manusiawi dan bisa diandalkan daripada banyak pihak yang diharapkan datang.
Singkat cerita, air perlahan surut dari Jumat hingga Ahad pagi, 30 November. Saat air mulai menyusut, semua orang turun, mencari apa yang bisa diselamatkan dari puing-puing. Kami saling bertemu, bertanya nasib satu sama lain, dan menangis haru karena masih diberi kesempatan melihat matahari lagi.
Dari Ahad sampai Rabu, aktivitas warga adalah mencari makanan, gas, mencuci pakaian berlumpur, dan membersihkan rumah dari endapan lumpur setinggi lutut. Kabar dari pejalan kaki yang berenang menyusuri banjir untuk sampai ke Tamiang atau meninggalkannya terus berseliweran.
Rabu, 3 Desember, saya memutuskan pergi. Saya berjalan kaki dan menumpang truk yang lewat hingga tiba di Langsa. Di sana, baru ada sinyal. Saya bisa menghubungi keluarga yang sudah cemas menanti kabar.
Bencana ini adalah pengingat yang keras. Harta yang kita kumpulkan, kalau bukan kita yang meninggalkannya, dialah yang akan meninggalkan kita. Orang-orang kaya di Tamiang kehilangan segalanya dalam sekejap. Saat bencana datang, mobil, motor, rumah semua tak ada artinya lagi. Yang tersisa hanya rasa syukur karena nyawa masih dikandung badan.
Kita mengharapkan bantuan manusia, tapi yang datang menolong hanya Allah Ta'ala. Maka, jadikanlah Dia satu-satunya tempat bergantung.
Sekarang, yang mereka butuhkan sangat mendasar: obat, makanan, air bersih, pakaian, tempat tinggal. Bantuan sudah digalang. Saya mohon, jangan ada permainan di sini. Jangan ada yang korupsi dari penderitaan rakyat sendiri.
Pemerintah harus turun tangan cepat. Mereka adalah rakyat kalian. Kalian datang mengemis suara saat Pilkada. Kini saat mereka butuh, jangan menghilang. Kalau tidak mampu, jangan halangi bantuan dari pihak lain.
Apakah angka kematian harus jadi syarat bantuan datang? Umar bin Khattab saja gelisah jika ada satu rakyatnya kelaparan. Apakah kita harus menunggu survei korban dulu baru bertindak?
Dari lubuk hati paling dalam, saya memohon: bantulah mereka. Kerahkan semua yang kalian punya.
Artikel Terkait
Relawan PMI Tiba di Aceh Tamiang, Dihadang Pemandangan Pilu Pascabencana
Rizal Fadhillah Ramal 2026 Jadi Titik Nadir bagi Jokowi
Gelombang Kayu Gelondongan Hantam Rumah Warga di Tapanuli Tengah
Ejekan Jenggot Ustaz Syafiq di Medsos: Bukan Kritik, Tapi Olok-olok yang Berbahaya