✍🏻 Erizeli Jely Bandaro
Pernyataan Menteri Kehutanan itu terdengar janggal. "Kami akan cabut izin... setelah mendapat restu Presiden," katanya. Rasanya, urusan pencabutan izin yang mestinya berdasar data dan aturan hukum, tiba-tiba berubah jadi semacam ritual politik. Seolah perlu restu dari pucuk pimpinan dulu baru bisa jalan. Padahal, perusahaan pelakunya jelas, rakyat yang kena dampaknya jelas, dan menteri yang punya kewenangan juga jelas. Lantas, kenapa Presiden harus ikut campur di sini?
Menurut sejumlah pengamat, ini bukan cuma soal birokrasi yang berbelit. Ada sesuatu yang lebih dalam.
Pertama, posisi menteri terlihat lebih sebagai kader partai ketimbang seorang teknokrat.
Kalau benar dia seorang teknokrat, prosesnya mestinya lugas: buat Surat Keputusan, sebut dasar hukumnya, lalu eksekusi sesuai mandat undang-undang. Titik. Tapi dengan mengatakan "tunggu restu Presiden", pesannya jadi lain. Teknokrasi seakan tunduk pada politik. Aturan dikalahkan oleh pertimbangan elektoral. Data pun kalah oleh kepentingan. Dan hutan? Hutan tak pernah punya hak veto untuk membela dirinya sendiri.
Di sisi lain, ini bisa dibaca sebagai manuver politik yang cerdik dari menteri dari partai PSI.
Dengan menyebut nama Presiden, ada beberapa efek yang muncul. Dia seakan cuci tangan, memberi kesan bahwa yang dia lakukan semata perintah atasan, bukan penegakan UU. Lalu, ada upaya memanfaatkan kedekatan dengan kekuasaan untuk menguatkan citra partainya. Yang tak kalah penting, beban dan risiko moral dipindahkan dari pundaknya ke pundah Presiden. Politik cuci tangan, tapi dibungkus rapi dengan retorika kepatuhan.
Artikel Terkait
Ustaz Evie Effendi Dijerat Dua Pasal KDRT, Dilaporkan Anak Kandung Sendiri
Farel Prayoga dan Etenia Croft Buka Babak Baru Lewat Kita Tak Sendiri
Wabah Tifus dan Gatal-gatal Serang Pengungsi Bencana Sumatera
Kontroversi di Jalur Malang-Kediri: Pelajar SMK Tewas Terseret Arus Usai Tabrakan Beruntun