Sore di Pasar Gede memang selalu punya iramanya sendiri. Suara tawar-menawar, deru motor, dan aroma buah-buahan yang manis bercampur jadi satu. Tanggal 7 Oktober kemarin, aku ke sana cuma buat cari objek foto. Tugas kuliah, namanya juga. Aku mondar-mandir, cari sudut yang pas buat dijepret kamera.
Dua jam berlalu. Baterai kamera hampir habis, dan aku pun duduk lelah di depan sebuah kios yang sudah tutup. Pikiran pun melayang ke hal yang lebih receh: mau beli apa buat makan malam nanti?
Nah, di tengah kekacauan pikiran itu, mataku nyangkut pada sebuah pemandangan yang justru sunyi. Di bawah pohon mangga, seorang bapak tukang becak duduk sendirian. Ia memandangi jalanan ramai dengan tenang. Bukan tatapan gelisah, tapi lebih seperti tatapan orang yang sudah sangat biasa dengan ritme menunggu. Becaknya tua, catnya sudah pudar di sana-sini, tapi terlihat bersih dan dirawat dengan baik.
Lensa kameraku yang tadi sibuk mengejar keindahan visual, mendadak berhenti. Fokusnya sekarang tertuju pada sebuah realitas yang kontras. Aku nggak cuma lihat objek foto lagi. Pikiranku langsung bandingin sepatu baru yang aku beli bulan lalu dengan sandal jepit tipis yang dipakai bapak itu. Aku di sini cuma cari nilai untuk tugas, sementara beliau di sana cari rezeki buat keluarga.
Artikel Terkait
Putin Tegaskan Ambisi Merebut Donbas, Jalan Damai Terasa Semakin Berliku
Jokowi Mania Tantang Roy Suryo: Bukti Ijazah Asli Akan Dibuka di Pengadilan
Kampung Ciseah Mekar Terendam, Banjir Lebih Parah dari 12 Tahun Lalu
Direktur PT PMT Ditahan, Limbah Besi Bekas Picu Radiasi Cesium di Cikande