Debat di Ruang Ber-AC, Rakyat Berjuang di Tengah Banjir

- Selasa, 02 Desember 2025 | 10:50 WIB
Debat di Ruang Ber-AC, Rakyat Berjuang di Tengah Banjir

Air bah tidak peduli ia dikategorikan lokal atau nasional. Tanah longsor tidak membaca Peraturan Pemerintah. Sungai yang meluap tak mengenal istilah "koordinasi lintas sektor". Yang mengenal dan memperdebatkan semua terminologi itu hanyalah manusia atau lebih spesifik, para elite.

Ada yang memprihatinkan ketika bencana berubah jadi panggung pertunjukan. Penderitaan rakyat disulap jadi bahan bakar retorika politik. Suara debat menjadi lebih nyaring daripada rintihan mereka yang kehilangan tempat tinggal.

Barangkali inilah kegagalan kita di era modern: membiarkan tragedi menjadi komoditas. Para ahli diwawancarai di TV. Pejabat berlomba datang ke lokasi untuk sekadar berfoto. Komentator sibuk menyalahkan pihak ini dan itu. Padahal, yang rakyat inginkan sederhana: air surut dan kehidupan mereka bisa berjalan kembali.

Mari jujur. Selama para elit asyik dengan debat yang tak menyentuh akar masalah, selama hutan di hulu terus menyusut, dan izin baru terus menggerus tanah, maka bencana berikutnya hanyalah soal waktu. Ia sudah menunggu dengan sabar, bagai hujan yang pasti akan datang lagi.

Bencana bukan kejutan lagi. Ia adalah janji lama yang kita biarkan jatuh tempo. Dan semua perdebatan itu hanyalah polesan kosmetik, upaya untuk menutupi kesadaran pahit bahwa kitalah, melalui keputusan-keputusan keliru, yang mewariskan malapetaka ini pada diri sendiri.

Rakyat tak butuh perdebatan panjang. Mereka butuh kehadiran yang nyata. Butuh peta jalan, bukan sekadar kata-kata. Mereka perlu perlindungan di hulu, bukan sekadar bantuan di hilir. Mereka butuh pejabat yang bekerja, bukan yang berkoar-koar.

Pada akhirnya, mungkin kita akan sadar. Air sendiri tak pernah berniat menenggelamkan siapapun. Yang menenggelamkan rakyat adalah keputusan-keputusan yang diambil jauh dari mereka, yang sama sekali tidak berpihak.

Sampai hari pencerahan itu tiba, tragedi akan terus berjalan dari hulu ke hilir, dari gunung ke kota. Dan judul pilu ini akan tetap sama: Ketika rakyat tenggelam, elit sibuk berdebat.

Penulis adalah penggiat pendidikan dan pemerhati sosial lingkungan hidup.


Halaman:

Komentar