Ketika Rakyat Tenggelam, Elit Sibuk Berdebat
Oleh: Makdang Edi
Sejarah kadang berputar di tempat. Ia menguji kita, seolah bertanya: sampai kapan kebodohan yang sama akan diulangi? Banjir melanda lagi. Longsor menghancurkan kampung. Air yang keruh menelan sawah, rumah, dan harapan. Di tengah bau lumpur dan sirene, di antara tangisan, rakyat sekali lagi menjadi tokoh utama dalam drama penderitaan yang tak kunjung tamat. Namun, di saat yang sama, ada suara lain yang bergema bukan dari lokasi bencana, melainkan dari ruang-ruang ber-AC tempat kekuasaan bersemayam.
Ya, ketika rakyat tenggelam, para elit justru sibuk berdebat.
Topiknya? Bukan cara mencegah bencana berikutnya. Bukan rencana memulihkan hutan yang gundul di hulu. Bukan strategi agar sungai bisa bernapas lega. Perdebatan mereka berkisar pada hal-hal teknis dan politis: status darurat nasional atau lokal? Siapa yang berwenang? Anggaran mana yang harus dicairkan? Dan, tentu saja, siapa yang paling pantas tampil di depan kamera.
Sementara itu, di balai desa yang lembab dan pengap, pengungsi berdesakan. Mereka menghitung waktu dengan gelisah. Malam di pengungsian tak peduli dengan status hukum; yang dibutuhkan cuma penerangan dan sepiring nasi hangat. Ironisnya, perdebatan di atas sana justru semakin panas, seakan terpisah oleh jurang yang dalam.
Menurut sejumlah pengamat, ironi ini sudah telanjang. Tak perlu disorot lampu kamera pun sudah jelas terlihat. Penderitaan terjadi di hilir, sementara perdebatan meletup di hulu kekuasaan. Padahal, bencana tak pernah benar-benar datang tiba-tiba. Ia adalah buah dari rentetan pilihan manusia pilihan politik, ekonomi, dan budaya yang diambil bertahun-tahun silam.
Lihatlah rangkaiannya. Hutan dibabat atas nama pembangunan. Lereng digunduli untuk investasi. Daerah aliran sungai dirusak demi efisiensi. Izin-izin terbit dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Semua keputusan itu lahir dari meja-meja rapat yang bersih, kering, dan aman dari ancaman banjir.
Lalu, ketika hujan mengguyur dan alam menagih janji yang dilanggar, para pengambil keputusan itu sibuk. Mereka berkutat pada istilah-istilah. Berdebat tentang "darurat", padahal bagi warga di lereng gunung, darurat adalah keseharian mereka yang sudah berlangsung lama.
Artikel Terkait
BLTS Sulut Tembus 66 Ribu Penerima, Bantu Warga Siapkan Natal
Mantan Pangdam Diponegoro Diperiksa Kejati Jateng Terkait Dugaan Pencucian Uang Rp237 Miliar
Menteri PPPA: Peran Ayah Kunci Perangi Korupsi dari Dalam Keluarga
Curut Pendukung Gibran Diserang, Rommi Irawan Singgung Lagi Keputusan Paman MK