“Pertemuan tersebut membahas tentang dokumen kualifikasi perusahaan yang akan dimasukkan dalam dokumen penawaran,” papar Asep Guntur.
Hasilnya bisa ditebak. PT Istana Putra Agung akhirnya keluar sebagai pemenang lelang. Tapi kemenangan itu ternyata dibayar mahal. Dugaan KPK, ada pemberian uang dari pihak perusahaan agar bisa menang.
Dari laporan keuangan PT Istana Putra Agung, terungkap aliran dana yang cukup fantastis. Untuk Muhlis, nilainya mencapai Rp 1,1 miliar, diberikan selama 2022 dan 2023. Sementara untuk kepentingan Eddy, angkanya jauh lebih besar: Rp 11,23 miliar yang ditransfer pada September-Oktober 2022.
Lantas, apa motivasi para pihak memberikan uang tersebut?
“DRS maupun rekanan lainnya memiliki alasan memberikan fee kepada MHC, karena khawatir tidak akan menang lelang paket proyek pekerjaan tersebut,” beber Asep.
“Sementara alasan DRS maupun rekanan lainnya mau memberikan fee kepada EKW, karena memiliki kewenangan terhadap proses lelang, pengendalian kontrak, sampai pemeriksaan keuangan. Dia juga dikenal dekat dengan pejabat di Kemenhub,” sambungnya.
Atas tindakannya, kedua tersangka kini terancam hukuman berat. Mereka dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor, yang dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP. Kasus ini sekali lagi menyoroti titik rawan korupsi yang kerap terjadi di tahap lelang proyek pemerintah.
Artikel Terkait
Pasca Banjir Bandang, Pidie Jaya Dihantui Krisis Kesehatan dan Kelumpuhan Rumah Sakit
Bobby Nasution dan Raja Juli Antoni Didesak Bertanggung Jawab atas Banjir Bandang Sumut
Permintaan Maaf BNPB Hanya untuk Bupati, Korban Banjir Bandang Tapsel Masih Menunggu
Rehabilitasi Prabowo Bebaskan Ira Puspadewi dari Cekal dan Tahanan KPK