Menguak “Negara dalam Negara” di Morowali
✍🏻Erizeli Jely Bandaro
Bayangkan sebuah bandara. Secara teori, ia mestinya jadi simbol kedaulatan negara. Titik di mana semua orang dan barang yang keluar-masuk harus tunduk pada aturan, SOP otoritas penerbangan, dan standar keamanan yang berlaku.
Tapi apa jadinya kalau bandara itu beroperasi tanpa mengikuti SOP negara? Bukan lagi sekadar infrastruktur, itu lebih mirip monumen kekuasaan gelap. Bukti nyata bahwa ada yang sedang membangun negara di dalam negara.
Pikirkan baik-baik. Hanya dua jenis entitas di dunia ini yang bisa mengoperasikan bandara seenaknya: negara berdaulat, atau bandit politik yang merasa dirinya lebih berdaulat daripada negara itu sendiri. Ketika yang kedua terjadi, republik ini perlahan berubah jadi ladang bisnis privat yang dibungkus manis dengan kata "pembangunan".
Skemanya bisa sangat mengerikan. Pesawat bisa mengangkut uang haram dari satu pulau ke pulau lain tanpa pantauan radar fiskal. Kargo bisa menyelundupkan narkoba tanpa pernah bertemu anjing pelacak atau petugas bea cukai. Orang bisa keluar-masuk dengan barang apa saja, asal dapat restu dari penguasa lokal, bukan pemerintah pusat. Intinya, negara cuma bisa nonton. Sementara itu, para operator bayangan menikmati jalur udara eksklusif layaknya jalur khusus untuk kriminal.
Artikel Terkait
Dompet Dhuafa Ajak Konten Kreator Saksikan Penyaluran Zakat ke Muslim Samosir
Demokrat dan PKS Bahas Masa Depan Pemilu dalam Pertemuan Akrab
Kaji Ulang Kasus ASDP, KPK Tinjau Kembali Langkah Hukum Pasca Rehabilitasi Presiden
Investasi Sulut Tembus Rp 8 Triliun, Target Rp 9,3 Triliun di 2025 Diyakini Tercapai