Belakangan ini, suasana di internal Nahdlatul Ulama (NU) memanas. Ada gejolak yang cukup serius. Dalam Risalah Rapat Harian Syuriah PBNU tertanggal 20 November 2025, Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar beserta dua wakilnya secara resmi meminta Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disapa Gus Yahya untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU.
Permintaan itu tentu bukan tanpa alasan. Rupanya, ada beberapa poin yang dianggap cukup krusial oleh Syuriah. Misalnya, soal undangan narasumber dalam kegiatan Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN NU). Gus Yahya disebut mengundang pemikir yang dikaitkan dengan “jaringan Zionisme Internasional”, Peter Berkowitz. Bagi Syuriah, hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Ahlussunnah wa al-Jamaah dan muqaddimah Qanun Asasi NU.
Selain itu, ada juga persoalan tata kelola keuangan. Rapat Syuriah menyoroti adanya indikasi pelanggaran dalam struktur PBNU, yang dinilai berpotensi melanggar syariah dan aturan Anggaran Rumah Tangga NU, khususnya Pasal 97-99. Mereka khawatir, hal ini bisa membahayakan eksistensi badan hukum NU.
Tak hanya itu, Syuriah juga menilai tindakan-tindakan tersebut telah mencemarkan nama baik organisasi. Mereka pun mengusulkan pemberian sanksi.
Nah, dalam risalah rapat itu juga disebutkan batas waktu. Jika dalam tiga hari Gus Yahya tak kunjung mengundurkan diri, Syuriah akan mengambil langkah tegas: memberhentikannya.
Di sisi lain, Gus Yahya sendiri punya sikap yang berbeda. Ia mengaku sudah bertemu dengan jajaran Syuriah. Menurutnya, sebagian dari mereka bahkan “menyesal” karena sebelumnya kurang mendapat informasi yang utuh. Ia dengan tegas menyatakan tidak akan mundur dan akan terus menjalankan amanah kepemimpinan hingga 2027.
Sebagai organisasi, NU memiliki dua institusi penting: Dewan Syuriah yang diisi para ulama, dan Dewan Tanfidziyah yang bertugas menjalankan fungsi eksekutif. Kadang, gesekan antara keduanya tak terhindarkan, terutama ketika arah kepemimpinan Tanfidziyah dinilai tidak sejalan dengan otoritas moral dan doktrinal Syuriah. Sejarah panjang NU menunjukkan bahwa konflik semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Namun, skala dan intensitasnya bisa menjadi sangat kritis ketika nilai-nilai dasar organisasi dianggap dipertaruhkan.
Salah satu aspek yang paling sensitif dan kerap menimbulkan kontroversi dalam kepemimpinan Yahya Staquf adalah hubungannya dengan Israel. Pada 2018 silam, ia pernah berkunjung ke sana sebagai pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC).
“Saya berdiri di sini untuk Palestina … menghormati kedaulatan Palestina sebagai negara merdeka,”
begitu penjelasannya kala itu. Ia menegaskan bahwa kehadirannya bukan mewakili NU secara kelembagaan, melainkan atas nama pribadi.
Selama di sana, ia juga sempat bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Meski Yahya menyatakan bahwa dalam berbagai pertemuan itu ia tetap menyampaikan dukungannya kepada Palestina, banyak yang menilai Israel justru sangat diuntungkan dengan kehadirannya. Kehadiran tokoh NU ini seolah memberi legitimasi bagi negara Israel, yang memang sedang gencar mencari pengakuan dari dunia Islam.
Kembali ke risalah Syuriah, kehadiran pemikir Zionis Peter Berkowitz dalam AKN NU menjadi salah satu poin utama. Yahya menanggapi tuduhan ini dengan menegaskan bahwa keterlibatannya dengan pihak-pihak Israel semata-mata demi perdamaian dan pembelaan terhadap Palestina, bukan sebagai bentuk dukungan terhadap Zionisme.
Artikel Terkait
Kutu Busuk Jadi Detektif Tak Terduga di TKP
Prabowo Tegur Langsung Kapolri dan Panglima TNI: Percuma Punya Bintang Empat
Tujuh Nama Lolos Saringan, KY Periode 2025-2030 Resmi Diresmikan DPR
Mahfud MD Desak PBNU Berdamai, Soroti Akar Konflik di Balik Sengketa Tambang