Mayndra mengungkapkan, mayoritas anak-anak ini berasal dari keluarga dengan komunikasi yang minim. Ada juga yang menjadi korban perundungan. Di komunitas terorisme, mereka justru merasa diistimewakan dan dielu-elukan sebagai sosok terpilih.
Seberapa Luas Paparan Ekstremisme di Game?
Survei "Radicalisation through Gaming The Role of Gendered Social Identity" mengungkap data yang mengkhawatirkan. Sebanyak 33,9% responden mengaku terpapar gambar, video, atau simbol yang mempromosikan ekstremisme. Sementara 38,2% mendapati dukungan kekerasan terhadap kelompok tertentu, dan 24,9% diajak bergabung ke kelompok ekstremis.
Yang lebih memprihatinkan, responden dari Indonesia mencatat angka paparan tertinggi 44% mengaku terpapar konten ekstremisme di game online. Survei ini melibatkan 2.244 responden dari 7 negara termasuk Indonesia.
Pakar terorisme UI Muhamad Syauqillah menegaskan, angka ini menunjukkan tingkat paparan yang sudah sangat masif. Menurutnya, konten ekstremisme sengaja dikemas secara menarik untuk memikat pemain.
Fenomena game bermuatan ekstremis sebenarnya bukan hal baru. Jurnal "30 Years of Trends in Terrorist and Extremist Games" mencatat sejak 1986 sudah ada game bernama Anti Türkentest yang dibuat kelompok "Hitler dan Hess". Mayoritas game ekstremis memang erat kaitannya dengan gerakan kanan.
Mayndra membenarkan, ekstremisme di game online tak hanya berbasis agama. Berdasarkan kasus SMAN 72, terdapat pula ideologi Neo-Nazi, white supremacy, hingga naturalis.
Namun bagi BNPT, paparan konten supremasi kulit putih atau Neo-Nazi belum bisa dikategorikan sebagai ancaman terorisme yang memerlukan pengawasan khusus. Eddy Hartono menjelaskan, UU Terorisme membatasi tindak pidana terorisme berdasarkan tiga motif: ideologis, politik, dan gangguan keamanan.
Pendapat berbeda disampaikan Syauqillah. Menurutnya, segala ideologi yang mengajarkan kekerasan patut diwaspadai, bukan hanya yang berlandaskan agama.
Sementara Ketua Asosiasi Game Indonesia Shafiq Husein mengingatkan agar tidak menyederhanakan game sebagai media terorisme. Ia menegaskan, game pada dasarnya adalah medium kreatif seperti film dan musik.
Langkah Mitigasi yang Bisa Dilakukan
Menghadapi infiltrasi ekstremisme ini, Komdigi meluncurkan Indonesia Game Rating System (IGRS) yang akan berlaku efektif Januari 2026. Melalui sistem ini, pengembang game wajib menilai mandiri konten gamenya sebelum diverifikasi Komdigi.
Dirjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi Alexander Sabar menjelaskan, "Game online yang tidak comply akan ada sanksi administrasi, mulai dari surat pemberitahuan sampai pemblokiran."
Shafiq menyambut baik langkah ini. "Dengan adanya IGRS, orang tua jadi aware, kalau rating-nya 18 , berarti anak-anak tidak boleh mengakses."
Syauqillah mendorong pemerintah untuk lebih tegas. Ia juga menekankan peran orang tua sebagai solusi utama.
"Orang tua harus jadi hero bagi anaknya. Ketika anak ada masalah, bapaknya jadi solusi. Dia tidak punya wahana lain selain orang tuanya," tegasnya.
Mayndra mengingatkan, orang tua biasanya bisa merasakan perubahan perilaku anak. "Indikatornya mereka makin menyendiri, mengunci diri, eksklusif. Kalau keterpaparannya tinggi, mereka akan cenderung menyalahkan ritual keagamaan, komunitas sosial."
Eddy Hartono menutup dengan pesan sederhana namun penting. Kreativitas anak bermain game harus tetap dijaga, tapi perlindungan dari pihak yang berniat jahat juga tak boleh diabaikan. Peran orang tua dalam mendampingi dan mengontrol penggunaan gawai menjadi kunci.
"Anak-anak perlu diberikan perhatian, perlindungan. Jangan sampai mereka curhatnya keluar daripada ke orang tua sendiri," tutupnya.
Artikel Terkait
Tersangka Penculikan Alvaro Tewas Gantung Diri di Sel Tahanan
Ibu Alvaro Akhirnya Tiba, Berpeluk Haru di Tengah Duka
Kecelakaan Maut di Tol Lampung, 207 Ribu Pil Ekstasi Berhamburan
Program Makan Bergizi untuk Baduy Terganjal Medan dan Adat