Di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Senin (24/11), suasana cukup sibuk. Usai rapat Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej yang akrab disapa Eddy menyampaikan beberapa penjelasan penting. Ia ingin meluruskan kesalahpahaman yang mungkin beredar di publik.
“Jadi sama sekali untuk mencegah jangan sampai ada terjadi kriminalisasi dan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum,” tegas Eddy, dengan nada meyakinkan.
Pria itu memastikan bahwa Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Pidana sama sekali tidak membuka peluang untuk kriminalisasi. Menurutnya, RUU ini murni bersifat teknis. Isinya hanya terdiri dari sembilan pasal saja, tersusun dalam tiga bab.
Memang, dokumen yang terlihat tebal itu kerap menimbulkan tanya. Namun begitu, Eddy menekankan bahwa ketebalan itu bukanlah isi UU-nya, melainkan lampirannya yang mencapai 197 halaman. “Kita menyesuaikan berbagai undang-undang di luar KUHP dengan KUHP Nasional,” tuturnya.
Di sisi lain, RUU ini muncul bukan tanpa sebab. Ia merupakan amanat langsung dari Pasal 613 KUHP Nasional. Tujuannya jelas: menyesuaikan berbagai aturan lain agar selaras dengan KUHP baru. Pembahasan ini mendesak, sebab UU KUHP dan UU KUHAP telah disahkan dan akan berlaku mulai 2 Januari 2026. Artinya, RUU Penyesuaian Pidana harus sudah rampung sebelum tanggal tersebut.
Eddy juga menyentuh soal penyesuaian terhadap Peraturan Daerah. Tak hanya itu, ada juga perbaikan teknis seperti koreksi typo dan rujukan pasal yang keliru dalam KUHP baru. “Hal-hal yang bersifat teknis,” ungkapnya.
Artikel Terkait
Indonesia Siapkan Pasukan Perdamaian dengan Komando Jenderal Tiga Bintang untuk Gaza
Desakan Internal PBNU Percepat Penetapan Tersangka Kasus Kuota Haji
Para Penjaga Asa: Kisah Mereka yang Menyalakan Perubahan dari Desa
Izin Tinggal di Jepang Bakal Melonjak Drastis, Setara Tarif Eropa dan AS